REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pada awal abad ke-19, yakni masa pemerintahan Sultan Muhammad Idrus Kaimuddi (sultan ke-29), dibuat institusi pendidikan Islam untuk memperkuat pemahaman masyarakat terhadap ajaran Islam. Institusi tersebut memiliki bangunan tempat guru dan murid bertemu untuk belajar agama Islam dalam bidang tasawuf dan fikih.
Institusi pendidikan Islam tersebut bernama zawiyah. Pelaksanaan pendidikannya bersifat tradisional dan cenderung bersifat struktural. Ada yang mengatakan Zawiyah merupakan hasil adopsi dari ajaran Islam para sufi selama proses Islamisasi, kemudian diadaptasikan ke dalam masyarakat Buton untuk memahami ajaran Islam.
Menurut Hasaruddin, sebagai upaya memperkuat posisi Islam di wilayah Kesultanan Buton maka dibuat tempat pendidikan Islam atau zawiyah. Zawiyah dibangun di dalam wilayah pusat pemerintahan Kesultanan Buton. "Pendidikan di zawiyah ini diawali dengan proses pembelajaran aksara Arab, Melayu, dan Wolio," ujarnya.
Jurnal berjudul Pendidikan Islam di Zawiyah pada Masa Kesultanan Buton Abad ke- 19 yang ditulis Syarifuddin Nanti, Ahmad M Sewang, dan Muzakkir menjelaskan zawiyah. Sebagai pusat pendidikan Islam pada masa itu, zawiyah telah memberi warna dan corak tersendiri bagi kehidupan masyarakat Buton.
Namun, zawiyah sebagai tempat bertemunya guru dan murid dalam kegiatan belajar-mengajar agama Islam berkutat pada masyarakat di lingkungan keraton saja. Padahal, wilayah kekuasaan Kesultanan Buton meliputi wilayah Kadie dan Barata sehingga tidak semua masyarakat di wilayah Kesultanan Buton mendapat pendidikan di zawiyah.
Kondisi tersebut membuat masyarakat biasa tidak bisa mengenyam pendidikan Islam di zawiyah. Hanya para bangsawan yang memiliki garis keturunan sultan yang bisa mengenyam pendidikan di zawiyah.
Meskipun zawiyah terkesan eksklusif, pengaruhnya dapat mengubah tradisi kepercayaan masyarakat Buton sehingga terbentuk nilai-nilai keislaman yang bersifat insidental dan transidental.
Seperti penetapan nilai-nilai Islam yang dituangkan dalam Martabat Tujuh sebagai undang-undang pemerintahan serta tertuang dalam falsafah Pobinci-binci Kuli. Falsafah ini merupakan lambang semangat persaudaraan sesama manusia sebagai wujud implementasi kerohanian dalam tradisi keislaman masyarakat Buton.
Zawiyah memadukan dua unsur pembelajaran, yaitu ajaran tasawuf dan fikih. Kemudian, ditransformasikan ke dalam tiga bahasa di antaranya Arab, Melayu, dan Wolio. Usaha memadukan tasawuf dan fikih di zawiyah, sesungguhnya memperkuat fondasi pemerintahan Kesultanan Buton, serta memurnikan ajaran-ajaran yang menyimpang dari syariat Islam.
Terdapat empat zawiyah pada masa Kesultanan Buton yang dapat diidentifikasi. Di antaranya Zawiyah Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, Zawiyah Haji Abdul Ganiyu, Zawiyah Muhammad Nuh, dan Zawiyah Sultan Muhammad Umar. Keempat zawiyah tersebut diprediksi didirikan pada awal abad ke-19. Namun, pada akhir abad ke-19, zawiyah mengalami kemunduran sejak ditinggalkan oleh para pendiri nya. Akhirnya, zawiyah pun hilang dari Bumi Buton.