REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Dadang Kahmad
JAKARTA -- Kebebasan berbicara dalam konteks kebangsaan, merupakan salah satu pilar demokrasi, sehingga aktivitas tersebut dilindungi oleh undang-undang. Namun, di era digital, kebebasan berbicara seolah mengikis nilai-nilai etika, memorakporandakan moralitas, dan menggerus derajat akhlak sebagian warga. Alhasil, kerap terjadi kegaduhan sosial di dunia maya yang tak sedikit berdampak terhadap relasi berbangsa dan bernegara di sekitar kita.
Di dalam khazanah pemikiran Arab, terminologi kebebasan berbicara disebut juga sebagai hurriyah al-ra'yi (kebebasan berpendapat) dan hurriyah qawli (kebebasan berbicara).
Dalam konteks berbangsa, termhurriyah dapat diartikan sebagai kemampuan individual dalam mengatakan apa yang dia inginkan, tanpa melanggar hak asasi orang lain. Pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, tentunya tidak disetujui oleh ajaran Islam. Karena, di dalamnya terdapat pemaksaan kehendak yang menindas dan merendahkan aspek-aspek kemanusiaan.
Kebebasan dalam perspektif Islam, tujuannya untuk mengungkapkan kebenaran (al-haq) dan penegakan nilai kemanusiaan. Sehingga, Islam membatasi kebebasan dengan garis etika kemanusiaan, seperti melarang kita menghujat, fitnah, pertengkaran, dan pemberontakan saat berbicara.
Di dalam Alquran dijelaskan, Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan dengan terus terang, kecuali oleh orang yang teraniaya. (QS an-Nisa [4]: 148). Ayat ini, memberi pesan bahwa kita harus berbicara penuh etika dan nilai kebaikan. Sehingga, bicara kita tidak menyakiti hati orang lain; terkecuali saat menyuarakan suara korban ketidakadilan dan memperjuangkan kebenaran orang teraniaya.
Dalam realitas sosial, tentunya kebebasan berbicara di negeri kita, tak sekadar perkataan. Namun, telah berubah, menyesuaikan dengan perkembangan media itu sendiri meminjam istilah Marshal Mc Luhan the message is medium. Tak heran, kini, kita akan menemukan komentarkomentar netizen di media sosal yang tak berbungkus etika, sehingga menyebarkan pembicaraan yang tak terpuji dan mengandung kebencian (hate speech).
Dalam bahasa lain, kita belum bisa berbicara secara terpuji. Padahal, Alquran menjelaskan, Saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS al-Ashr [103]: 3).
Berbicaralah secara terpuji, mari kita tinggalkan berbicara tanpa akhlak di mana pun medianya, tak boleh menghujat, menebar fitnah, mewartakan ghibah, dan berdusta dalam bertukar informasi (hoax). Insya Allah, bila kita mampu mencipta akhlak saat berbicara, pesan kebaikan akan ikut berperan dalam mengembangkan gagasan, meluaskan ide, menjaga keadilan, dan menciptakan masyarakat yang berkemajuan di Indonesia. Wallahu a'lam.