REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berturut-turut menangkap sejumlah kapal perikanan asing (KIA). Kapal-kapal asing itu diketahui melakukan penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) di perairan Indonesia pada awal April 2019.
Kali ini, dua KIA berbendera Malaysia berhasil ditangkap oleh Kapal Pengawas Perikanan (KP) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) Selat Malaka (3/4). Sehari sebelumnya (2/4), KP. Hiu 011 berhasil menangkap 2 (dua) KIA Vietnam di Laut Natuna Utara Kepulauan Riau.
Dalam siaran persnya yang diterima Republika.co.id, hari ini, tangkapan terbaru itu menambah 23 kapal perikanan ilegal yang telah berhasil ditangkap sebelumnya oleh armada Kapal Pengawas Perikanan KKP. Sehingga sejak Januari hingga 4 April 2019, total tangkapan menjadi 25 (dua puluh lima) kapal perikanan ilegal. Terdiri dari 20 KIA dan 5 Kapal Perikanan Indonesia (KII).
“Dari sejumlah KIA yang ditangkap terdiri atas 11 kapal berbendera Vietnam dan 9 kapal berbendera Malaysia,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Agus Suherman.
Penangkapan dua KIA Malaysia dengan nama PKFB 1852 (64.71 GT) dan KHF 1256 (53.02 GT) dilakukan dalam operasi pengawasan yang dilaksanakan oleh KP Hiu 08.
Kapal PKFB 1852 diawaki oleh empat orang terdiri atas dua orang warga negara Thailand termasuk nakhoda dan dua orang WN Kamboja. Sementara KHF 1252 diawaki tiga orang berkewarganegaraan Thailand. Kedua kapal menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang di Indonesia yakni jaring trawl.
“Bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan asing secara umum sama. Kapal perikanan asing masuk dan menangkap ikan di WPP-NRI tanpa dilengkapi dengan dokumen perizinan," kata Agus Suherman.
Berdasarkan hasil pemeriksaan di lapangan, kapal sementara diduga melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 20 miliar. Saat ini, kedua kapal dan seluruh awak kapal telah tiba di Stasiun PSDKP Belawan Sumatera Utara untuk proses hukum oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan.
Sebelumnya, tim Fleet One Quick Response (F1QR) Satuan Tugas Gabungan Komando Armada I (Koarmada I) berhasil menggagalkan upaya penyelundupan benih lobster ilegal di perairan Pulau Sugi, Batam, Kepulauan Riau, Selasa (12/3) lalu. Sebanyak 245.102 ekor benih lobster (BL) berhasil diselamatkan dalam operasi pengejaran, penangkapan, dan penyelidikan (jarkaplid) terhadap satu speed boat (SB) tanpa nama.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, penggagalan BL ini merupakan tangkapan yang terbesar dalam sejarah yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. “Kalau dinilai dengan harga beli dari masyarakat, BL ini mungkin bernilai Rp 10 miliar-an. Tapi kalau dinilai ke bakulnya, Rp 37 miliar. Kalau dinilai di Singapura, mungkin sudah Rp 60 miliar. Kalau dilepas di laut, jadi 8 ons, 1 kg, 2 kg per ekornya, mungkin nilainya sudah paling tidak seratus kalinya,” kata dia.
Menteri Susi mengatakan, penyelendupan BL ini diindikasikan merupakan sindikat penyelundup BL yang dikumpulkan dari semua pos-pos wilayah lobster yang terbentang di sepanjang wilayah Indonesia. Wilayah lobster itu meliputi bagian barat Sumatera, Belitung, selatan Jawa, utara Natuna, Kalimantan, Bali, Lombok, dan beberapa pulau di Indonesia bagian Timur.
Pengamanan penyelendupan BL yang mulai dilakukan secara intensif oleh pemerintah sejak tahun 2015 diduga membuat para penyelundup BL mengerucut menjadi sebuah sindikasi. “Dulunya kan pemain-pemain kecil dari mana-mana. Nah, sekarang ini ada pemain besar dengan segala speedboat berkecepatan tingginya. Paling tidak 42 knot kecepatannya minimal. Jadi kalau liat itu, ini ada pemain besar yang memang bisa mengerjakan seperti ini,“ ujarnya.
Pemerintah akan terus mengembangkan indikasi sindikat yang ditemukan ini untuk menemukan aktor besar yang berada di ujung rantai penyelundupan selama ini. Sebagai informasi, terhitung sejak Januari-Maret 2019 terdapat delapan kasus penggagalan pengiriman BL di enam titik lokasi. Total 338.065 ekor yang berhasil diselamatkan tersebut diperkirakan bernilai setara dengan Rp 50,7 miliar.