REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Maulana Umar Mas'ud bukanlah yang pertama menyebarkan Islam ke Bawean. Sebelumnya, ada jejak Wali Songo yang pernah singgah di Pulau Bawean sekitar 1460 Masehi, yaitu Sunan Bonang. Karena itu, selain ada di Tuban, makam Sunan Bonang juga terdapat di Bawean, tepatnya di Kecamatan Tambak.
Setelah Sunan Bonang, ada juga seorang wali perempuan yang menyebarkan Islam di Bawean bagian utara, yaitu Wali yah Zainab (1580 Masehi). Dia merupakan cucu dari Sunan Sendang Dhuwur Paciran Lamongan yang menikah dengan cucu Sunan Giri yang bernama Pangeran Sedo Laut.
Waliyah Zainab awalnya datang ke Pulau Bawean bersama suami dan kerabatnya. Namun, sayangnya, suami dan kerabatnya meninggal dunia di tengah laut setelah perahunya tenggelam. Dari musibah itu yang selamat hanya dua orang, yaitu Waliyah Zainab dan seorang pembantunya yang bernama Mbah Rumbut.
Dalam buku Waliyah Zainab, Putri Pewaris Syeikh Siti Jenar: Sejarah Agama dan Peradaban Islam di Pulau Bawean, Dhiyauddin Qushwandhi menjelaskan bahwa Waliyah Zainab adalah generasi keempat penerus ajaran Syekh Siti Jenar.
Makam Waliyah Zainab kini menjadi tempat yang paling banyak diziarahi oleh masyarakat Bawean. Letaknya di Desa Diponggo, Kecamatan Tambak. Bahasa masyarakat Bawean Diponggo sendiri berbeda dengan bahasa Bawean pada umumnya. Lebih mirip bahasa Jawa yang digunakan Waliyah Zainab.
Dalam buku Pesantren Hasan Jufri dari Masa ke Masa, Ali Asyhar menuliskan bahwa pada 1743 Masehi, Bawean juga pernah berada di bawah kekuasaan Madura.
Namun, orang Bawean enggan dipanggil orang Madura meskipun bahasa kesehariannya hampir sama dengan bahasa Madura. Pasalnya, penduduk pulau ini tidak hanya merupakan keturunan orang Madura, tapi juga banyak yang memiliki nenek moyang dari Jawa, Bugis, Mandar, dan Palembang.