REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Alquran merupakan kitab suci yang wajib dipelajari oleh umat Islam. Firman Allah akan menuntun manusia ke jalan kebaikan. Namun, umat Islam di perkotaan masih banyak yang belum bisa membaca Alquran. Berbeda dengan kalangan masyarakat yang berada di pesisir. Umat Islam di pesisir justru sangat mudah mempelajari Alquran. Hal ini tak terlepas dari peran guru mengaji dalam mentransmisikan tradisi mempelajari Alquran.
Kalamullah yang ikut serta dalam proses penyebaran Islam diterima oleh masyarakat Jawa telah berada dalam bentuk lain. Alquran telah mengalami perubahan dari masa ia pertama kali dibacakan. Perubahan ini tidak hanya mengenai bagaimana ia dibukukan, tetapi juga mengenai bagaimana dia ditulis.
Karena itu, buku Tradisi Alquran di Pesisir ini menjelaskan bagaimana budaya kitabullah terbangun sebelum akhirnya tradisi ini diterima dan diteruskan, khususnya oleh masyarakat pesisir Jawa. Buku ini akan menambah semaraknya wacana pembe lajaran Alquran. Penulis buku ini, Muhammad Barir mengungkapkan mata rantai ulama dan jaringan keilmuan mereka, khususnya dalam bidang Alquran dan ilmu pengetahuannya.
Pesisir utara Pesisir utara menjadi gerbang utama dalam penyebaran kebudayaan masa awal masuknya Islam. Pada abad ke-11 di Gresik, misalnya, telah terdapat berbagai komunitas beragama Islam, yang kebanyakan adalah kaum Arab Hadrami.
Mereka berasal dari Yaman Selatan. Datang ke Indonesia mereka membawa tradisi Islam ke nusantara. Alquran yang menjadi pedoman utama mereka ikut terbawa ke dalam kehidupan masyarakat Jawa. Komunitas Muslim itu terus membangun relasi terbatas di area pesisir, sehingga Islam pun menyebar.
Pendidikan Alquran saat itu menjadi kewajiban pertama setelah syahadat karena untuk melaksanakan shalat dibutuhkan bacaan Alquran yang baik. Alquran tersebut diajarkan melalui langgar atau mushala dan pesantren. Masya rakat Jawa saat itu terbiasamengaji selepas senja setelah shalat Maghrib. Mega yang memerahi langit menandakan bahwa waktu belajar telah tiba.
Anak muda desa keluar dari pintu rumah mereka sembari membawa Alquran yang dipeluk tepat di dadanya. Mereka berangkat mengaji ke langgar-langgar desa yang sederhana untuk mempelajari Alquran yang ditulis dalam bahasa Arab. Dalam metode pengajarannya, seorang guru ngaji membaca potongan huruf hijaiyah di hadapan muridnya.
Sang murid kemudian meniru ucapan gurunya, tidak ha nya suara, tetapi nada, ritme, dan bagaimana gerak bibir tempat huruf itu ke luar sebagaimana semestinya. Sebagaimana meng aji langgaran pada umumnya yang digambarkan Aboe bakar Atjeh dalam buku Sedja rah Alquran, guru ngaji pada masa lalu melakukan pengajaran dengan sederhana. Tidak terdapat sistem khusus dan jadwal pasti.
Waktu yang dijadikan patokan untuk diingat adalah waktu-waktu yang menunjukkan saat shalat seperti bakda Ashar dan bakda Maghrib, pagi atau sore hari. Mereka biasanya belajar mengaji kurang lebih dua jam. Metode pengajaran Alquran di langgar mirip seperti sorogan yang biasa dikenal dalam pembelajaran kitab kuning di pesantren
Namun, sang guru ngaji tidak menarik biaya dalam proses pembelajaran Alquran itu. Ustaz langgaran itu mengajar secara ikhlas. Namun, terkadang ada juga masyarakat yang membawa barang kebutuhan rumah tangga dan hasil tani untuk diberikan kepada guru mengaji yang mengajari anaknya.