REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nashih Nasrullah
Diplomasi bagi sebuah entitas suatu bangsa mutlak diperlukan. Bagaimanapun, komunitas apa pun tidak akan bisa terlepas dari keberadaan masyarakat di luar sana.
Hanya bedanya, dalam Islam, diplomasi tersebut tidak hanya berkaitan dengan urusan duniawi, tetapi juga berhubungan dengan perkara akhirat, mendakwahkan Islam dalam hal ini. Sebab itu, diplomasi memiliki akar sejarah yang kuat dalam perbadaban Islam.
Surat yang pernah dikirimkan oleh Rasulullah kepada Raja Ashhamah bin Abjar, penguasa negara Habsyah—kini Etiopia—dapat menjadi bukti seni berdiplomasi damai dengan tujuan dakwah yang dicontohkan oleh Nabi. Redaksi surat itu sebagai berikut:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasul Allah untuk Najasyi al-Ashham, Raja Habsyah. Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadamu. Sesungguhnya aku menyampaikan pujian kepada-Mu. Ya Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang mempunyai kerajaan, Yang Mahasuci, pemberi kesejahteraan, kesentosaan, dan perlindungan. Dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Isa putra Maryam adalah roh Allah dan firman-Nya yang disampaikan kepada perawan Maryam yang baik, suci, dan disucikan, lagi memelihara dirinya. Kemudian, ia hamil mengandungkan Isa dan Allah telah menciptakannya dari ruh-Nya dan meniupkannya, sebagaimana Allah menciptakan Adam dan meniupkannya. Sesungguhnya, aku menyerumu kepada Allah Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan agar selalu bersikap taat kepada-Nya, lalu ikutlah aku dan berimanlah kepada yang aku bawa karena sesungguhnya aku Rasul Allah. Aku telah mengutus kepadamu anak laki-laki pamanku, yakni Ja'far, dan serombongan kaum Muslimin yang menyertainya. Semoga keselamatan untuk orang yang mengikuti petunjuk.”