REPUBLIKA.CO.ID, LEMBANG— Sejak lulus sekolah menengah atas (SMA) 2014 lalu di Cirebon, Nu'man Tsabit (24), penyandang disabilitas netra memiliki mimpi untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri. Namun seiring perjalanan, dia terpaksa mengurungkan niatnya sebab tidak memiliki biaya untuk masuk kuliah.
Selanjutnya, dia memilih mondok di Pesantren Al-Araf dan belajar Alquran secara mendalam. Perlahan, dengan Alquran braille yang dimilikinya dia mulai menghafal dan selama empat tahun terus belajar hingga kini bisa menjadi hafiz 30 juz.
"Saat lulus SMA, saya sudah hafal juz ke 30. Baru saat masuk pesantren mulai menghafal juz lainnya," ujarnya saat ditemui di Lembang baru-baru ini. Dia mengaku membutuhkan waktu yang tidak sebentar agar bisa hafiz 30 juz.
"Kalau saya membutuhkan waktu karena menghafal itu butuh lingkungan Qurani dan yang penting istiqamah dan sabar. Saya menghabiskan waktu 4 tahun (hafal 30 juz)," ujarnya.
Selama belajar menghafal Alquran, ida mengaku tidak memiliki metode khusus. Namun, baginya yang terpenting dalam menjalani hal itu adalah niat dan istiqamah serta sabar. "Ketika ada ayat yang susah dihafal harus bersabar," ungkapnya.
Untuk menjaga bacaannya tetap hafal, Numan mengaku sering melakukan murajaah dan terus menghafal. Termasuk meluangkan waktu untuk membaca Alquran. "Paling murajaah menyediakan waktu dalam satu hari minimal satu juz," katanya.
Dirinya bercerita pernah mengikuti musabaqah hifzil Quran (MHQ) namun didiskualifikasi. Sebab umurnya yang sudah melewati batas. Saat ini, dia mengungkapkan mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Citereup.
Saat ini pun, dia menjadi narasumber dan pendamping peserta dalam acara Alquran Braille Camp yang diadakan di Lembang, Bandung Barat hingga Ahad (12/5) mendatang.
Dia mengaku mempelajari Alquran braille relatif tidak sulit karena sejak masuk pesantren sudah bersentuhan dengannya. "Alhamdulillah tidak ada kesulitan, justru Alquran braille menjadi hal yang menarik. Dan saya satu-satunya yang belajar di pondok," katanya.
(N-Muhammad Fauzi Ridwan)