Kamis 23 May 2019 16:41 WIB

Senat AS Rancang UU Laut Cina Selatan

Rancangan undang-undang akan memberi sanksi aktivitas ilegal di Laut Cina Selatan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pulau di kawasan konflik laut Cina Selatan
Foto: VOA
Pulau di kawasan konflik laut Cina Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Senat Amerika Serikat (AS) akan memperkenalkan kembali rancangan undang-undang (RUU) bertajuk "South China Sea and East China Sea Sanctions Act" pada Kamis (23/5). RUU tersebut berisi tentang sanksi Pemerintah AS terhadap individu atau entitas Cina yang terlibat dalam aktivitas ilegal di Laut Cina Selatan. 

Rancangan UU itu diajukan para senator dari Partai Republik dan Demokrat. "RUU dua partai ini memperkuat upaya AS dan sekutu kita untuk militerisasi Beijing yang ilegal dan berbahaya atas wilayah yang disengketakan yang direbutnya di Laut Cina Selatan," ujar Senator Republik Marco Rubio, dilaporkan laman South China Morning Post. 

Baca Juga

Rubio dan Senator Demokrat Benjamin Cardin adalah dua tokoh yang memimpin pengajuan RUU Laut Cina Selatan. Rubio menegaskan bahwa RUU itu tak memiliki maksud atau tujuan lain, kecuali menegaskan Laut Cina Selatan sebagai wilayah perairan internasional. 

"UU ini menegaskan kembali komitmen Amerika untuk menjaga kawasan itu bebas dan terbuka untuk semua negara, dan meminta pertanggungjawaban Pemerintah Cina atas penindasan dan paksaan negara-negara lain di wilayah tersebut," ujar Rubio. 

RUU itu akan meminta menteri luar negeri AS memberikan laporan tentang individu atau entitas Cina yang terlibat dalam proyek konstruksi atau pengembangan di daerah-daerah di Laut Cina Selatan. Reklamasi, pembuatan pulau, pembangunan mercusuar infrastruktur komunikasi adalah beberapa kegiatan yang dibidik dalam RUU tersebut. 

Jika telah mengidentifikasi pelakunya, menteri luar negeri AS harus menyampaikannya kepada Kongres. Pelaporan dilakukan rutin setiap enam bulan sekali. 

Sanksi yang diatur dalam RUU itu adalah pencabutan aset dan penolakan visa bagi mereka yang terbukti terlibat dalam tindakan atau kebijakan yang mengancam perdamaian, keamanan, stabilitas, di Laut Cina Selatan.

RUU Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur sebenarnya telah diperkenalkan pada 2017. Namun, ia tidak pernah beranjak dari Komite Hubungan Luar Negeri ke Senat secara penuh. RUU itu harus disetujui Senat dan House of Representative sebelum dibawa ke presiden untuk diratifikasi. 

Sebelum Senat memperkenalkan kembali RUU tersebut, Angkatan Laut AS telah rutin melakukan operasi kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan. Tujuan dari operasi itu sama, yakni menegaskan bahwa Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan internasional.

Pada Ahad pekan lalu, misalnya, AS mengirim kapal lautnya untuk melintasi Laut Cina Selatan. “(Kapal perusak) Preble berlayar dalam jarak 12 mil laut dari Scarborough Reef guna menentang klaim maritim yang berlebihan dan menjaga akses ke jalur air sebagaimana diatur oleh hukum internasional,” kata juru bicara Armada Ketujuh AS Komandan Clay Doss, dikutip laman Aljazirah, Senin (20/5).

Itu merupakan operasi militer AS kedua di Laut Cina Selatan dalam sebulan terakhir. Pekan lalu, Kepala Operasi Angkatan Laut AS John Richardson mengatakan operasi kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan berjalan konsisten selama beberapa dekade terakhir. Dia menegaskan AS tak melakukan tindakan provokatif apa pun di wilayah perairan strategis tersebut.

“Saya telah melakukan analisis dan saya dapat menyatakan dengan yakin bahwa tingkat operasi kami (di Laut Cina Selatan) telah konsisten selama beberapa dekade terakhir,” ujar Richardson di sela-sela konferensi pertahanan maritim di Singapura.

Menurut dia, operasi itu mendapat lebih banyak perhatian dari media dan terkadang Cina. Namun, dia mengaku tak terkejut dengan respons Beijing yang menganggap pelayaran yang dilakukan kapal-kapal Angkatan Laut AS di Laut Cina Selatan sebagai tindakan provokatif.

“Saya kira mereka (Cina) sudah cukup konsisten dalam menanggapi operasi-operasi ini, tapi jika saya kembali ke prinsip pertama, saya hanya ingin memastikan bahwa pendekatan Angkatan Laut AS konsisten. Kami tidak melakukan sesuatu yang semakin provokatif atau apa pun,” ujar Richardson.

Operasi kebebasan navigasi adalah salah satu cara yang dilakukan AS untuk menentang klaim Cina atas Laut Cina Selatan. Beijing telah berulang kali mengecam tindakan AS karena dinilai provokatif. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement