REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Cina menegaskan dukungannya untuk Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam, untuk terus menyusun rancangan undang-undang (RUU) ekstradisi. Beijing akan tetap mempertahankan Lam meski ada tuntunan untuk mundur.
"Pemerintah Cina, pemerintah pusat selalu mendukung kinerja Kepala Eksekutif Carrie Lam dan pemerintah Hong Kong," ujar juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lu Kang dalam konferensi pers di Beijing, Selasa (18/6).
"Pemerintah pusat akan terus mendukung kepala eksekutif dan pemerintahan Wilayah Administrasi Khusus Hong Kong sesuai dengan hukum," kata Lu menambahkan.
Sebelumnya, ribuan orang dengan mengenakan pakaian berwarna hitam turun ke jalanan di Hong Kong pada Ahad (16/6), menuntut agar Lam mundur. Tuntutan tersebut dilakukan setelah Lam menangguhkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) ekstradisi yang menimbulkan aksi protes selama beberapa hari belakangan.
Ribuan pengunjuk rasa tersebut memulai long march dari Taman Victoria hingga ke kantor-kantor pemerintah di pusat Hong Kong. Pada Sabtu (15/6) lalu, Lam telah menunda keputusan perubahan RUU ekstradisi tanpa batas waktu. RUU itu menyatakan bahwa pelaku tindak pidana akan dikirim ke Cina daratan untuk diadili.
Pada Senin (17/6) lalu, para pengunjuk rasa memblokir jalan dan mendesak Lam untuk menarik RUU ekstradisi tersebut. Tuntutan tersebut memaksa Lam untuk meminta maaf karena berencana meloloskan RUU kontroversial itu. Seorang pejabat senior Hong Kong yang dekat dengan Lam mengatakan kepada Reuters, Beijing tidak mungkin membiarkan Lam menarik kembali RUU esktradisi.
"Itu akan menciptakan lebih banyak masalah," kata pejabat yang enggan disebutkan namanya tersebut.
Para kritikus, termasuk pengacara terkemuka dan kelompok hak asasi manusia menyatakan, sistem peradilan Cina dikendalikan oleh Partai Komunis. Dengan demikian, sistem peradilan akan ditandai dengan penyiksaan dan pengakuan paksa, penahanan sewenang-wenang dan sulitnya akses ke pengacara.
"Kami tidak dapat menerima permintaan maaf (Lam). Itu tidak akan menghilangkan semua ancaman kami," ujar seroang pekerja sosial, Brian Chau yang menjadi bagian dari para pengunjuk rasa yang menginap di distrik Admiralty, dekat dengan kantor pusat dan legislatif.
Aksi protes yang terjadi beberapa hari lalu merupakan yang terbesar di Hong Kong, sejak peristiwa demonstrasi berdarah di Lapangan Tiananmen, Beijing pada 4 Juni 1989. Pejabat Hong Kong menyatakan, 72 orang dirawat di rumah sakit akibat terluka dalam aksi protes. Sementara, media lokal melaporkan, satu orang pengunjuk rasa meninggal dunia karena terjatuh dari bangunan konstruksi ketika sedang membentangkan spanduk yang bertuliskan penolakan terhadap RUU esktradisi.