REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah segera menunjuk law firm atau tim kuasa hukum internasional untuk menggugat sikap Uni Eropa yang dinilai mendiskriminasi kelapa sawit di Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) World Trade Organization (WTO). Sampai saat ini, setidaknya sudah ada lima nama perusahan yang dikerucutkan oleh pemerintah.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menuturkan, firma hukum tersebut akan mendampingi pemerintah dan industri sawit di WTO. Meski tidak menyebutkan waktu pasti penunjukan, keputusan tersebut akan diambil dalam waktu dekat.
"Segera," ujarnya ketika ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (19/6).
Setelah resmi menunjuk, Oke menjelaskan, Indonesia akan segera menyiapkan semua aspek materi untuk menggugat Uni Eropa. Tidak ada batasan waktu untuk memulai gugatan tersebut, karena dapat dilakukan setiap saat.
Tapi, begitu sudah menggugat, Indonesia harus sudah siap dengan segala materi. Sebab, batas waktu yang diberikan antara gugatan hingga selesai, biasanya memakan waktu 1,5 tahun. Dalam kurun waktu itu, Indonesia memungkinkan untuk konsultasi.
Oke mengakui, pemerintah belum menentukan kapan akan mendaftarkan gugatan ke WTO. Hal tersebut akan ditetapkan bersama dengan firma hukum setelah menyiapkan segala materi yang dibutuhkan.
Tapi, Oke menambahkan, berdasarkan konsultasi dengan seluruh firma hukum, gugatan sebaiknya dilakukan setelah Delegated Act dipublikasikan di jurnal Uni Eropa yang telah dilakukan pada 10 Juni. "Makanya, setelah ini, kita sekarang harus menunjuk law firm," tuturnya.
Oke memastikan, gugatan yang disampaikan adalah terkait dengan kebijakan Uni Eropa mengenai penerbitan Renewable Energy Directives (RED) II serta aturan pelaksanaannya (delegated acts). Untuk pelaku usaha yang ingin menggugat, dapat langsung ditujukan pada member state.
Dalam kebijakan tersebut, Uni Eropa menghapus minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dari daftar bahan bakar nabati berkelanjutan.
Uni Eropa mengklaim, perkebunan sawit mengakibatkan kerusakan lingkungan dan deforestasi besar-besaran. Bahkan, kerusakan yang ditimbulkan lebih parah dibanding dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya seperti kedelai (soybean) dan rapeseed.
Tim diplomasi
Sementara itu, pemerintah mulai menyusun tim diplomasi untuk melakukan litigasi di WTO sebagai respon pelarangan penggunaan minyak sawit asal Indonesia. Dirjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono, mengatakan, pemerintah memastikan untuk merespon sikap eropa yang bakal melarang sawit lewat arahan kebijakan energi terbarukan (RED II) yang disusun oleh Komisi Eropa.
"Kita (membentuk) tim internal dari Indonesia dahulu. Kita tetap jalan mempersiapkan diri. Kita juga membahas untuk membuat tim bersama negara-negara produsen minyak sawit," kata Kasdi dalam kesempatan sama.
Kasdi mengatakan, komposisi tim internal Indonesia masih disusun. Rapat antar kementerian masih akan dilanjutkan untuk pematangan tim. Kasdi menjelaskan, pada dasarnya diplomasi bakal dipimpin oleh Kementerian Luar Negeri. Adapun ihwal perdagangan bakal berada di bawah kendali Kementerian Perdagangan.
Sementara, Kementerian Pertanian bersama Kementerian Perindustrian mempersiapkan data-data valid terkati sawit asal Indonesia. Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional, Kementerian Perindustrian, mengatakan, pihaknya ingin membuat single data terkait sawit.
Adanya single data akan memudahkan tim diplomasi dalam melangkah di WTO sekaligus untuk mengkampanyekan bahwa minyak sawit asal Indonesia ramah lingkungan. "Kita ingin harus ada single data sehingga sumber yang dipakai untuk diplomasi dan campaign itu sama," ujarnya.