REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengatakan orang tua yang abai mengawasi anak-anaknya perlu diberi sanksi agar jadi pembelajaran. Hal tersebut kasus anak-anak menonton adegan intim pasangan suami istri di Tasikmalaya.
"Pelaku harus dihukum sesuai perbuatannya, tetapi tanggung jawab itu tidak dibebankan begitu saja kepada pelaku, orang tua seharunya diberikan sanksi bisa denda atau kerja sosial karena tidak mampu mendampingi anak-anaknya," kata Devie di Jakarta, Kamis (20/6).
Menurut Devie, selama ini terjadi budaya menyalahkan orang lain di masyarakat. Padahal, untuk kasus-kasus pornografi yang melibatkan anak ini juga ada peran fungsi pengawasan dari orang tua.
Menurutnya, jika hanya pelaku yang disalahkan, maka semua orang tua akan melepaskan tanggung jawabnya dan menyalahkan orang lain. "Padahal yang salah adalah dia (orang tua) tidak mendampingi anak-anaknya mendapatkan ilmu yang tepat, bahwa pornografi itu tidak bisa dikonsumsi di usia sangat muda," kata dosen Vokasi Universitas Indonesia ini.
Devie menyebutkan orang tua harus tau bahwa saat ini dirinya sedang bersaing dengan teknologi yang sangat cepat. Untuk itu, orang tua harus memperketat pengawasanya dan membangun komunikasi dengan anaknya.
Dengan demikian, hal-hal tabu tidak lagi menjadi tabu karena sumber informasi sudah begitu banyak. Karena itu orang tua harus tetap bisa menjadi orang yang dapat dipercaya bagi anaknya.
"Caranya, sediakan ruang untuk berkomunikasi dengan anak, permasalahan durasinya itu kualitas," kata Devie yang juga aktif menulis ini.
Devie mengatakan sanksi denda tersebut juga bisa dikembalikan lagi kepada orang tua untuk digunakan kembali mendidik anaknya. Dengan demikian, ke depan para orang tua jangan sekedar membangun budaya menyalahkan orang lain.
Saat ditanya soal faktor yang melalaikan orang tua mengawasi anaknya, Devie mengatakan ada beberapa hal yang menjadi penyebab kelalaian, yakni karena memang tidak ada bimbingan belajar menjadi orang tua. Selain itu teknologi yang begitu pesat, sementara orang tua hanya mampu mendidik anak dari pengalaman yang didapat saat saat dirinya kecil (sebagai anak).
"Padahal pada saat itu kondisi orang tua sebagai anak sudah sangat berbeda dengan kondisi sekarang," kata Devie.
Faktor berikutnya orang tua tidak punya referensi dan orang tua berpikir ketika dia sudah memasukkan anak sekolah dan memberikan pendidikan agama hal itu sudah selesai. "Karena orang tua berpikir hal-hal tersebut sudah diajarkan dan akan mampu menjadi benteng. Dia tidak sadar bahwa gempuran media-media itu jauh lebih kuat di bandingkan pengetahuan-pengetahuan yang ada," kata Devie.
Ia mengatakan perlunya anak-anak diajarkan tentang pendidikan biologis, termasuk pendidikan seks dengan cara dan metode yang tepat. Dia mengatakan mestinya para orang tua mengajar kepada anaknya dari semenjak kecil terkait pelajaran biologis, pendidikan seks. Orang kebanyakan mengartikan pendidikan seks itu mengajarkan seks, padahal anak-anak perlu melihat apa bahayanya ketika menonton tayangan pornografi.
Banyak hasil penelitian mengungkapkan bahaya menonton tayangan pornografi. Anak-anak yang terpapar pornografi otaknya secara fisiologis lebih rusak dibanding ketika mereka menegak narkoba.
Ketika hal itu diajarkan oleh orang tua kepada anak maka dari awal anak-anak mereka akan membangun sensorsif buat diri mereka. "Artinya orang tua harus mau belajar tidak bisa lagi berbekal pengetahuan di masa lalu. Orang tua harus meng-upgrade dirinya," kata Devie.