REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah merasa cukup belajar agama, Habib Ali Kwitang kemudian menulis surat kepada sejumlah gurunya dalam rangka meminta izin untuk mengajar. Setelah di izinkan, barulah Habib Ali memulai dakwahnya.
Dalam menyusun buku Sumur yang tak Pernah Kering, Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Habsyi, yang merupakan cucu Habib Ali Kwitang menjelaskan, Habib Ali mulai mengajarkan agama sejak usia ke-20 tahun, tepatnya pada 1890 M.
Pada usia remajanya itu, Habib Ali sudah mengajarkan agama ke berbagai daerah di Ibu Kota. Kendati demikian, Habib Ali masih belajar untuk mendalami ilmu agama. Dia juga terus menjalin komunikasi dengan para guru, khususnya Habib Abdullah bin Muchsin Alatas yang tinggal di Bogor.
Habib Ali Kwitang dikenal merakyat. Dia memiliki kahlian di bidang tafsir, tasawuf, fikih, dan tarikh. Sejak kembali ke Tanah Air, dia berdakwah melalui majelis taklim yang didirikannya. Pengajian tersebut dilaksanakan rutin setiap Ahad pagi di masjid Kwitang.
Ketua Pengurus Masjid al-Riyadh Kwitang, Ustaz Nurdin Abdurrahman mengata kan, jumlah jamaah yang hadir di pengajian Majelis Taklim Habib Kwitang tersebut hampir tidak berubah dari dulu sampai sekarang. Sekitar seribu orang, ujar Ustaz Nurdin kepada Republika, belum lama ini.
Kepala Rumah Tangga Masjid Kwitang, Hamdani, menjelaskan, pengajian Majelis Taklim Habib Ali Kwitang sampai saat ini masih terus dilakukan setiap Ahad pagi. Biasanya, pengajian itu digelar mulai pukul 07.00 hingga 11.00 WIB.
"Orang-orang yang datang kebanyakan dari Jabodetabek, pengajiannya kalau sekarang dipimpin Habib Ali (cicit Habib Ali Kwitang)," kata Hamdani. Selain berdakwah di Tanah Air, se jumlah negara juga menjadi sasaran Habib Ali dalam mensyiarkan agama Islam. Habib Ali Kwitang tercatat pernah berdakwah ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilangka, Mesir, dan beberapa negara lainnya.
Pada 1901, Habib Ali Kwitang dan para habib lainnya kemudian mendirikan sebuah perkumpulan bernama Jamiyatul Khair. Kemudian, pada 1928 Habib Ali Kwitang dan beberapa ulama lainnya mendirikan organisasi keturunan nabi Muhammad di Indonesia, yaitu Rabithah Alawiyah. Organisasi habaib tersebut kini di pimpin oleh Habib Zein bin Umar bin Smith.
Menurut Habib Zein, saat itu Habib Ali Kwitang memang fokus mengem bangkan organisasi Islam di Indonesia. "Saat itu Jamiyatul Khair selalu diawasi oleh Belanda dan ditekan untuk lebih fokus kepada pendidikan, Habib Ali dan para pendiri Jamiyatul Khair itu mendirikan lagi suatu organisasi Rabithah Alawiyah untuk melakulan amal kebaikan yang sifatnya untuk umat," kata Habib Zein saat dihubungi Republika, Rabu (19/6).
Selain berdakwah lewat organisasi Islam, Habib Ali Kwitang juga berdakwah lewat tulisan. Di antara kitab yang dikarang nya adalah Al-Azhar al-Wardiyah fi Siraah Nabawiyah, sebuah kitab yang membahas tentang akhlak Nabi. Habib Ali juga menulis kitab yang berisi shalawat nabi, yaitu Addurarfi al-Shalawat al- Khairil al-Bariyah.
Pada 1991, Habib Ali Kwitang kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam modern, yaitu Unwanul Falah yang terletak di samping Masjid al-Riyadh Kwitang. Tidak sedikit para ulama terkenal yang pernah menjadi muridnya. Kini lembaga pendidikan itu tengah dikembangkan menjadi pesantren dan tahfiz Alquran.
Habib Ali menikah dengan Aisyah binti Ali Assegaf yang berasal dari perumahan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Dari pernikahannya itu, Habib Ali dikaruniai sepuluh anak, yaitu Abdurrahman, Roqayah, Fatimah, Khadijah, Maryam, Mahani, Zainab, Zahra, Sa'diyah, dan Muhammad.
Habib Ali Wafat pada Ahad, 13 Oktober 1968 pukul 20.45 WIB pada usianya yang ke-99. Kabar duka itu pun mendapat perha tian yang luar biasa dari murid-muridnya dan umat Islam Indonesia. Bahkan, berita wa fatnya beliau disyiarkan sejulah televisi dan radio dari tanah Arab dan radio Amerika.
Habib Ali dimakamkan keesokan harinya di Masjid ar-Riyadh, Jalan Kramat II, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat. Pe merintah Indonesia kemudian menetapkan hari pemakaman itu sebagai 'Hari Ber kabung Nasional' dan diharapkan rakyat memasang bendera setengah tiang sebagai penghormatan terhadap jasa-jasa beliau pada bangsa dan negara.