REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik, Ray Rangkuti mengimbau Presiden Jokowi tidak membuka pintu koalisi terhadap partai-partai yang selama Pilpres 2019 menjadi oposisi. Hal itu demi menjaga tradisi oposisi terhadap pemerintahan yang sah.
"Tradisi oposisi menjadi koalisi adalah tradisi yang tidak bagus dalam demokrasi ke depan," kata Ray Rangkuti dalam forum diskusi bertajuk "Sesudah MK: Silaturahmi atau Negosiasi?" yang diselenggarakan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), di Jakarta, Jumat (28/6).
Menurut Ray, upaya negosiasi terhadap oposisi mencederai prinsip checks and balances pemerintahan ke depan. Dia menilai, sebaiknya Jokowi tetap dengan koalisinya saat ini.
"Sebaiknya komposisi koalisi sejak awal dipertahankan. Merekalah yang paling berhak mendapatkan kursi kekuasaan," ujar Ray.
Dia mengimbau Jokowi membiarkan partai yang kalah tetap menjadi oposisi, sementara partai pemenang dapat mengelola kekuasaan hingga lima tahun. Pengamat politik Jerry Sumampouw sependapat dengan Ray, bahwa keberadaan partai oposisi akan memberikan kontribusi yang baik dalam iklim demokrasi.
Jerry menekankan, rekonsiliasi bukanlah soal berbagi jabatan atau kedudukan menteri. Rekonsiliasi semacam itu hanya rekonsiliasi semu.
"Rekonsiliasi harus menjadi sesuatu yang berbeda dan tidak bisa diterjemahkan dalam konteks negosiasi atau bagi-bagi jabatan dan kekuasaan," jelas Jerry.
Peneliti Formappi Lucius Karus menyampaikan hal serupa bahwa pemerintahan terpilih tidak perlu dibebani oleh urusan menerima partai baru sebagai bagian dalam koalisi karena tidak memiliki urgensi sama sekali. "Kehadiran partai baru justru akan membuat pemerintahan terbebani, banyak kepentingan yang harus diladeni," jelasnya.