REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengandalkan bus listrik Transjakarta untuk solusi jangka panjang mengatasi pencemaran udara di Ibu Kota. Namun, bus listrik itu masih dalam tahap prauji coba sambil menunggu dasar hukum di tingkat nasional yang mengatur kendaraan berbasis listrik tersebut.
"Namun, karena belum adanya dasar hukum yang jelas dalam bentuk perpres (peraturan presiden) maupun peraturan pemerintah (PP), undang-undang (UU) tentang adanya bus listrik, kami belum bisa melakukan operasional penuh," kata Direktur Operasional PT Transjakarta Daud Josep di Jakarta Pusat, Senin (1/7).
Ia mengatakan, sampai hari ini pihaknya masih menunggu proses perizinan rampung. Tahap awalnya adalah uji tipe untuk mendapatkan surat tanda nomor kendaraan (STNK).
"Kalau dapat STNK maka boleh beroperasi di jalan lalu mengurus kir lalu kartu pengawasan izin trayek," kata dia menambahkan.
Ia menyebutkan, PT Transjakarta telah bekerja sama dengan PT Mobil Anak Bangsa (MAB) dan BYD Auto Co Ltd untuk menyediakan armada bus listrik. Menurut dia, PT Transjakarta juga belajar kepada Blue Bird yang sebelumnya telah mengantongi izin dan mengoperasikan 30 unit taksi berbasis listrik.
Daud menyebut, selama prauji coba tercatat sekitar 13 ribu orang menaiki bus listrik yang beroperasi di Monas, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Ancol, dan kawasan car free day. Bahkan, PT Transjakarta pun tidak membayar selama prauji coba ini. Biaya sepenuhnya ditanggung PT Mobil Anak Bangsa (MAB) dan BYD Auto Co Ltd.
Di sisi lain, ia pun tak membantah memang untuk penyediaan armada bus listrik biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dibandingkan bus berbahan bakar minyak. Namun, ia meyakini biaya operasional bus listrik akan lebih rendah, termasuk biaya pemeliharaannya.
"Sementara UN (United Nations/PBB) bilang lebih murah karena meskipun busnya lebih mahal tapi konsumsi bahan bakarnya jauh lebih murah," kata dia.
Ia juga meminta PLN selaku penyedia pasokan listrik untuk memberikan dukungan terhadap beroperasinya bus listrik ini. Daud berharap PLN memberikan harga listrik per kWh yang dibebankan kepada PT Transjakarta lebih murah.
Daud juga meminta kepada Pemprov DKI agar memberikan insentif bagi operator-operator angkutan umum yang ikut serta menyediakan bus listrik nantinya. Ia mencontohkan, pemprov seharusnya menggratiskan penyewaan lokasi depo untuk menurunkan biaya operasional.
Sementara itu, Direktur Teknik PT MAB Bambang Tri Soepandji mengatakan, izin tipe dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk bus listrik buatannya sudah dikantongi. Selanjutnya, PT MAB mengajukan permohonan ke Kementerian Perindustrian untuk proses produksi bus listrik.
"Perizinan produksi itu di bawah Kementerian Perindsutrian, setelah itu semua baru diurus dengan beberapa instansi terkait untuk proses penerbitan STNK," kata dia.
Ia menambahkan, setelah STNK didapatkan, PT Transjakarta selaku pengguna bus listrik dan penyedia armada bisa melakukan uji coba penuh. Hal itu bertujuan untuk mempelajari aspek-aspek terkait, seperti penggunaan listriknya dan infrastruktur pemasangan charging station.
Kemudian, Bambang melanjutkan, data dan evaluasi hasil uji coba akan dianalisis untuk menentukan produksi bus listrik tersebut. PT MAB nantinya akan memproduksi bus listrik sendiri secara massal dalam jumlah kecil terlebih dahulu setelah mengantongi izin produksi dari Kementerian Perindustrian.
PT MAB akan membeli komponen-komponen bus listrik dari perusahaan di seluruh dunia. Kemudian, PT MAB akan membuat kontruksi bus itu sendiri yang diproduksi di Indonesia dari komponen-komponen tersebut.
"MAB hanya membuat konstruksi busnya dan komponen-komponen yang sangat pokok (diproduksi) di Indonesia," kata dia menambahkan.
Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, angkutan umum yang menggunakan energi ramah lingkungan masih terbatas. Perinciannya sebesar 23,3 persen transportasi umum berbahan bakar gas dari jumlah keseluruhan 62.872 angkutan. Sementara itu, jumlah taksi berbasis listrik masih 0,05 persen atau 30 unit.