REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mendorong produsen garam pelat merah, PT Garam untuk mengubah model bisnis yang selama ini dijalankan. Pemerintah berharap PT Garam tidak sekadar menjadi produsen garam, namun menggenjot upaya industrialisasi untuk membantu peningkatan kualitas garam yang diproduksi oleh petambak.
Deputi Bidang Usaha Agro dan Farmasi Kementerian BUMN, Wahyu Kuncoro, menyampaikan, industrialisasi dibutuhkan sebagai transformasi bisnis perseroan agar mampu menyerap produksi lokal dari petambak yang jumlahnya jauh lebih besar daripada yang diproduksi oleh PT Garam sendiri.
"Kami sebetulnya minta bisnis PT Garam tidak sama dengan petambak garam. Biarkan rakyat yang memproduksi, PT garam menyerap itu sebagai bahan baku untuk diolah menjadi garam untuk industri pengolahan," kata Wahyu kepada Republika.co.id, Selasa (9/7).
Wahyu mengatakan bahwa kebutuhan garam industri cukup besar terhadap total kebutuhan garam di Indonesia. Di sisi lain, harga garam untuk sektor industri juga lebih tinggi daripada garam untuk konsumsi masyarakat. Karena itu, upaya industrialisasi pergaraman nasional menjadi salah satu langkah strategis yang diperlukan ke depan.
"Paling tidak, kalau belum bisa meningkatkan produksi garam, kita bisa subtitusi garam petambak sehingga bisa masuk ke industri," ujar Wahyu.
Sebagaimana diketahui, pada tahun 2019 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengestimasi, produksi garam mencapai 2,32 juta ton. Namun, dari estimasi tersebut, garam yang bisa digunakan oleh sektor industri hanya sekitar 1,12 juta ton atau kurang dari 50 persen. Rendahnya penyerapan tersebut, lantara kualitas garam lokal yang belum memenuhi kriteria kebutuhan industri.
Adapun sektor industri yang belum dapat menerima garam lokal yakni chlor alkali plant, farmasi dan kosmetik, water treatment, penyamakan kulit, pakan ternak, sabun dan deterjen, serta pertambangan. Adapun industri yang sudah dapat menerima pasokan lokal yakni industri sektor aneka pangan.
Terkait produksi riil garam tahun ini, sampai dengan awal Juli 2019, tercatat para petambak telah memproduksi garam sebanyak 3.164 ton. Tak hanya itu, terdapat stok petambak dari tahun 2018 yang masih tersimpan sebanyak 237.068 ton.
Wahyu mengatakan, lewat industrialisasi PT Garam yang berorientasi pada peningkatan kualitas garam petambak, maka sekaligus menekan angka impor garam. "Substitusi dari garam impor ke garam lokal justru membantu pemerintah hemat devisa. Ini yang harus didorong. PT Garam bikin pabrik saja, bahan bakunya biar dari petambak," ujarnya.
Strategi itu, lanjut dia, juga lebih menguntungkan ketimbang pemerintah memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) agar PT Garam dapat menyerap garam petambak dengan harga tinggi. PMN pada dasarnya diberikan pemerintah agar dana yang digunakan perseroan dapat diputar kembali untuk menyerap garam.
Namun, dalam keberjalanannya, dana PMN belum dapat diputar oleh PT Garam. Hal itu diakibatkan karena PT Garam telah membeli garam milik petambak dengan harga di atas Rp 1.000 per kilogram (kg). Namun, harga jual garam di pasar bebas saat ini jatuh hingga di bawah Rp 500 per kg.
Hal itu lantas membuat stok garam di PT Garam saat ini menumpuk. Sebab, selain menyerap, PT Garam juga memproduksi garam yang tahun ini ditargetkan mencapai 400 ribu ton.
Wahyu mengatakan, sejauh ini PT Garam sejatinya sudah mulai membangun beberapa pabrik. Namun, ke depan, hal itu harus memberikan manfaat bagi para petambak namun juga dapat memberikan profit bagi bisnis perseroan.