Akan tetapi, ini adalah soal individual. Sampai hari ini, aku belum merdeka karena belum mampu meyakinkan ibuku. Aku ingin sekali menikah. Ingin punya istri dan keturunan. Namun, kata ayah dan ibu, aku mesti selesai kuliah minimal strata satu.
Hal ini tentu tidak sesuai dengan keadaan dan hasratku yang ingin segera menikah, padahal aku sendiri "merasa" yakin, sanggup lahir dan batin. Aku yakin aku bisa menghidupi rumah tanggaku nantinya.
Setiap aku menelepon ke kampung, aku coba menyakinkan ayah dan ibu. Sebenarnya ayah dan ibu setuju kalau aku menikah dengan sesegera mungkin, malah mereka senang kalau memang aku benar-benar mampu. Namun, yang membuat mereka tidak setuju adalah aku menikah dengan gadis Jawa pilihanku.
"Janganlah orang Jawa, nanti dia tidak mau tinggal di Aceh Tenggara. Nanti kamu ditahan mertuamu di tanah Jawa. Aku tidak mau di usia senja kamu tidak ada di kampung. Sudahlah waktu muda jauh, saat tua berjauhan pula. Mak tidak setuju!" Ibu mengkhawatirkan itu, sementara ayah punya alasan yang lain.
"Bang, telepon ke nomor Mamak. Ada yang ingin Mamak bicarakan." Aku sangat bahagia membaca pesan dari adikku itu.
Karena husnuzanku adalah ibu sudah setuju berkat bantuan Bambkhu-ku (adikku). "Ah, tidak sia-sia aku minta tolong pada Bambkhu."
Sepekan kemudian, aku turun dari lantai empat untuk membeli buah-buahan. Kurus sekali sekarang ya, Musa sahabatku heran melihat mukaku yang lesu. Badanku kurus kering.
Niatku beli buah-buahan ialah agar badanku kembali segar dan kuat. Kawanku ini sudah punya anak satu. Dia juga istrinya bukan orang Aceh. Istrinya orang Kalimantan. Dia sudah punya anak satu, perempuan. Aku pun curhat pada sahabatku itu.
"Aku bukan sengaja diet. Ini semua karena aku ingin menikah."
"Kalau mau menikah yang banyak-banyaklah makan. Makan sup daging, beli daging unta."
"Gimana mau makan daging? Sementara ibuku saja belum setuju?"
"Oh gitu, saran ana, antum banyakin doa, sedekah, dan Tahajud. Supaya hati ibu luluh. Percayalah, doa dapat menembus penghalang apa pun, apalagi hati."