REPUBLIKA.CO.ID, PADANG PANJANG -- Dr Sulaiman Juned dan Soeryadarma Islan mampu membawa pikiran berlari ke tengah padang ilalang saat purnama benderang. Pujian itu disampaikan Ketua Penyair Perempuan Indonesia, Kunni Masrohanti untuk buku kumpulan puisi 'Rembulan dan Matahari' karangan ayah dan anak tersebut.
“Terkadang juga membuat diri seperti anak kecil yang menangis dalam gerimis,” katanya puitis.
Buku 'Rembulan dan Matahari' adalah hasil kolaborasi Dr Sulaiman, Doktor Penciptaan Seni Teater lulusan ISI Surakarta yang saat ini bertugas sebagai Dosen Penyutradaraan di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Padangpanjang, Sumatra Barat, bersama sang anak, Soeryadarma. Buku terbitan penerbit independen di Jawa Timur rencananya akan diluncurkan pada Maret 2019 di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang.
Soel —sapaan akrab Sulaiman Juned— lelaki kelahiran Usi Dayah, Kabupaten Pidie, Aceh, pada 12 Mei 1965 itu, menetap di Kota Literasi Padangpanjang sejak 20 tahun lampau dan dikenal sebagai penyair. Ia salah seorang penasihat Forum Pegiat Literasi (FPL) Kota Padangpanjang.
Sementara Soeryadarma Isman lahir di Beureunuen, Aceh, 17 Maret 2002. Pelajar SMK Negeri 1 Masjid Raya Banda Aceh itu sejak sekolah dasar aktif menulis dan membaca puisi. Ia juga memenangkan berbagai perlombaan.
“Buku ini menjadi inspirasi bagi para orang tua bahwa keakraban paling abadi juga bisa diciptakan melalui karya, selain doa,” puji Muhammad Subhan, penulis yang aktif di Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia dan Forum Pegiat Literasi (FPL) Kota Padangpanjang, di Padangpanjang, Rabu (6/2).
Penyair dan redaktur budaya Koran Tempo, Mustafa Ismail, menuturkan, Soel sangat produktif. Mulai dari menyutradarai teater hingga menulis puisi. Ia berkata, kesibukannya Soel sebagai pengajar sekaligus salah satu pejabat di ISI Padangpanjang tak membuatnya jumud.
“Buku puisi ini salah satu contoh betapa penyair Sulaiman selalu punya ruang dan waktu untuk berkontemplasi dan menulis puisi, Sementara Soeryadarma Isman juga punya semangat yang sama dengan sang ayah,” ujarnya.
Penyair asal Solo, Sosiawan Leak, mengatakan, keutuhan buku ini justru bertumpu pada perbedaan eksplorasi yang dilakukan kedua penyairnya. “Satu penyair mempresentasikan karya yang cenderung bersahaja, satu lainnya menyandarkan ekspresi kepada kekuatan diksi metaforis yang dinamis lewat tema beraneka,” ujar Sosiawan Leak yang pernah menjadi juri Lomba Baca Puisi Tingkat Nasional 2018 di Padangpanjang.
Apresiasi juga datang dari sastrawan Indonesia asal Aceh, L.K. Ara. Ia mengatakan, puisi-puisi Soel yang banyak bicara tentang kehidupan selalu disentuh dengan napas ke-Ilahian. “Begitu juga karya Soeryadarma, napas ketuhanan selalu melekat,” katanya.
Sementara Dheni Kurnia, penyair yang berdomisili di Riau menurutkan, dalam mencermati puisi-puisi Soeryadarma Isman, ia seperti mencatat banyak kejadian dan diajak menikmati ribuan kilometer kenangan. “Ketika saya mencoba menyandingkan puisi Soeryadarma dengan puisi Sulaiman Juned dalam buku yang sama ini, saya menemukan dua napas dalam satu tabung,” ujar pemenang buku puisi Hari Puisi Indonesia (HPI) tahun 2018 itu.
Win Gemade, penyair asal Gayo, punya pendapat lain soal buku ‘Rembulan dan Matahari’. Menurutnya buku tersebut adalah simbol dengan harapan-harapan tertentu. “Bahwa kehidupan memiliki dua sisi yang selalu dihadapi dan harus dijalani,” ujarnya.
Kolaborasi dua penyair ayah dan anak itu, menurut penggagas sekaligus Ketua Festival Sastra Bengkulu, Willy Ana, sangat menarik. Mereka, kata dia, memiliki gaya ucap berbeda dan khas masing-masing. Begitu pula dalam sisi tema. “Warna Aceh pun cukup kental pada puisi-puisi di buku ini,” katanya.
Dosen Penyutradaraan di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Padangpanjang, Sumatra Barat, Dr. Sulaiman Juned (kiri) dan Soeryadarma Isman (kanan). (Dokumen pribadi)
Salman Yoga, akademisi dan sastrawan asal Gayo, Aceh, mengulas, puisi-puisi dalam buku ini tidak mempunyai tema tunggal, bahkan menampilkan tema beragam. Menurut dia, kedua penyair saling menerawang fenomena sosial dan menyelami diri, dengan kematangan kontemplasi masing-masing sehingga menjelama menjadi sebuah karya.
“Sahut bersahut tema memang muncul dalam beberapa puisi, tetapi tetap dengan perspektif yang berbeda dari kedua penyair,” tulisnya memberi pengantar di buku itu.
Apresiasi juga datang dari penyair Malaysia, Djazlam Zainal dan Wacana Minda. “Puisi-puisi Soeryadarma dan Sulaiman Juned tampak jelas kelincahan bermain bahasa dan menyisipkan akal dan perasaan dalam bait-bait puisinya,” kata Djazlam.
Ditambahkan Wacana Minda, kolaborasi dua penyair memberi kebebasan ekspresi dan apresiasi yang lebih besar mewarnai ruang karya. “Ekpresi tidak mudah ditemukan tanpa apresiasi dalam penciptaan karya. Dengan gaya dan diksi tersendiri, tidak ragu-ragu untuk dikatakan bahwa buku ini bisa meninggalkan ingatan yang besar dalam warna-warni dunia perpuisian Indonesia,” ujar Setiausaha Agung Persatuan Penyair Malaysia itu.
Buku Puisi ‘Rembulan dan Matahari’ berisi 50 Puisi karya Soeryadarma Isman dan 50 Puisi karya Sulaiman Juned. Sebagian besar puisi yang berada di buku ini mengenai landscape Indonesia dengan segala dinamikanya.
“Buku ini sebagai hadiah tujuh belas tahun usia Soeryadarma Isman. Semoga dapat menjadi transformasi moral bagi masyarakat pembacanya sekaligus dapat diterima sebagai oleh-oleh untuk kemajuan dunia sastra,” harap Sulaiman Juned.