REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan tidak ada ketentuan yang mewajibkan pimpinan KPK berasal unsur perwakilan institusi tertentu. Sebelumnya, mantan ketua KPK Antasari Azhar menyoroti komposisi pimpinan KPK saat ini yang tidak ada wakil dari unsur penuntut umum atau jaksa.
"Terkait dengan pertanyaan tentang apakah harus ada unsur-unsur perwakilan institusi yang harus ada di KPK untuk menjadi pimpinan KPK, kami mengajak semua pihak untuk tetap mengacu pada aturan yang ada, yaitu Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang KPK," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat (18/7).
Ia menjelaskan pada Pasal 43 ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa keanggotaan Komisi (pimpinan KPK) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat. Hal tersebut, kata dia, juga diuraikan kembali dalam penjelasan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yaitu "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai anggota yang semuanya adalah pejabat negara".
"Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi".
"Dari dua UU tersebut kita memahami bahwa unsur yang diwajibkan sebagai pimpinan KPK adalah unsur pemerintah dan masyarakat, jadi tidak ada ketentuan yang mewajibkan unsur perwakilan institusi tertentu," kata Febri.
Apalagi, kata dia, undang-undang mengatur proses yang ketat agar proses seleksi dilakukan secara transparan dan melibatkan keikutsertaan masyarakat serta melalui uji kelayakan di DPR berdasarkan hasil panitia seleksi yang dibentuk Presiden RI. KPK pun kata dia, mengharapkan proses seleksi tersebut tetap mengacu pada aturan hukum yang berlaku sehingga tidak ada bias-bias pemahaman sejak awal.
"Jangan sampai ada kesan "penjatahan" dalam kursi pimpinan KPK karena tugas yang akan dilakukan di KPK nantinya tidak akan terpengaruh pada keterwakilan tersebut. Fokus KPK adalah agar dapat menjalankan lima tugas yang diberikan UU secara maksimal, yaitu koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, dan monitoring, ucap Febri.
Selain itu, kata dia, KPK juga mengharapkan keseimbangan gender juga menjadi perhatian dalam proses seleksi pimpinan KPK ini. Apalagi, ungkap dia, KPK selama ini cukup intens membangun gerakan antikorupsi bersama jaringan-jaringan perempuan, yaitu Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) dan Perempuan Indonesia Antikorupsi (PIA).
"Serta organisasi lain dari unsur masyarakat, akademisi, Polwan, anggota TNI, Kepala Daerah hingga bidan dan tenaga kesehatan di pelosok-pelosok daerah yang fokus dengan semangat pemberantasan korupsi," ujar Febri.
Antasari Azhar sebelumnya menyebut, formasi pimpinan KPK saat ini melanggar Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Formasi pimpinan 2014-2019 tak memuat dari unsur Penuntut Umum.
"Susunan pimpinan KPK yang sekarang ini melanggar undang-undang," kata Antasari dalam sebuah diskusi yang digelar di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Kamis (18/7).
Antasari menyoroti pasal 12 UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal tersebut berbunyi, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum."
"Yang sekarang, unsur jaksa siapa?" ujar Antasari Azhar.