REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bukan perkara mudah mempertahankan pengelolaan wakaf seperti berlangsung pada masa Ottoman hingga berabad-abad lamanya. Kata kuncinya adalah manajemen tata kelola yang baik. Dari sini, aset wakaf menjadi lebih produktif dan mampu tersalurkan secara sefektif kepada mereka yang membutuhkan.
Murat Cazakca dalam Ottoman Cash Waqf Revisited: the Case of Bursa, mencatat, sekitar 20 persen aset wakaf tunai Ottoman tetap bertahan lebih dari satu abad. Evaluasi juga dilakukan berkala untuk memastikan tidak ada kesalahan pengelolaan ataupun penyimpangan.
Profit atau keuntungan disebut iradin, kemudian berganti menjadi murabahain di periode selanjutnya. Literatur terkait manajemen wakaf ini secara perinci memaparkan aset wakaf, investasi yang dilakukan, keuntungan yang dicapai, dan penyaluran dananya. Di antara yang cukup besar adalah wakaf yang terkumpul di Kota Bursa.
Sebagian penghasilan dari pendayagunaan wakaf itu disalurkan untuk kepentingan agama dan kemasyarakatan. Sebagian lagi tetap digunakan bagi usaha-usaha produktif. Praktik ini terus berjalan hingga sekitar abad ke-18. Terdapat sejumlah investasi untuk mendayagunakan wakaf uang, seperti mudarabah dan muamele isiriyye.
Jenis pendayagunaan yang disebutkan terakhir merupakan sistem pinjaman yang telah diatur lewat yurisprudensi. Menurut Murat, beberapa hal tetap menjadi perdebatan. Salah satunya tentang profit dari investasi. Sebagian kalangan melihat bahwa itu adalah riba, kelompok lainnya tak mempermasalahkannya.
Namun pada prinsipnya, keuntungan dari pemanfaatan aset bukan bersumber dari praktik riba, melainkan berupa sistem bagi hasil. Keuntungan yang diperoleh pengelola wakaf merupakan bagian dari penghasilan yang didapat oleh penyewa atau peminjam aset wakaf yang melakukan berbagai usaha komersial.