REPUBLIKA.CO.ID, Syekh Ahmad Chatib Al-Minangkabawi (1860-1916) merupakan ulama nusantara asal Minangkabau yang memiliki pengaruh besar. Meski tidak hidup di tanah air, pemikiran Syekh Chatib banyak tersebar di nusantara.
Syekh Chatib pernah menjadi imam dan khatib di Masjid al-Haram Makkah. Di sana, dia mengajar ribuan ulama yang datang dari berbagai dunia, termasuk dari tanah kelahirannya sendiri. Beberapa murid Syekh Chatib dari Indonesia yaitu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan.
Di antara warisan intelektual Syekh Chatib adalah kitab Al-Qaulu al-Nahif fi Bayani Tarjamah Tarikh Hayati Ahmad Chatib Ibni Abdil Lathief. Manuskrip asli biografi ini hanya satu, yaitu manuskrip yang ditulis Syekh Chatib dengan tinta hitam yang terdiri dari 52 halaman. Manuskrip asli ini disimpan di Perpustakaan Makkah nomor 116.
Menurut Syekh Khatib, di antara tradisi para ulama yang saleh adalah menceritakan sejarah hidup mereka, sehingga orang-orang yang ada di belakang mereka bisa mengenalnya dan para ulama juga menceritakan beberapa nikmat yang diraih.
Demikian juga dengan Syech Khatib. Sebagai ulama, Syekh Chatib juga menceritakan kisah hidupnya melalui buku otobiografinya ini. Penulisan sejarah kehidupan Syekh Chatib ini diharapkan menjadi pelajaran bagi anak-anak dan semua kerabatnya agar termotivasi untuk menempuh jalan keilmuan yang terpuji serta sibuk dengan belajar dan mengajar.
Selain itu, Syekh Chatib menulis otobigrafinya ini karena diminta oleh murid-muridnya. "Maka aku tulislah kitab ini untuk menjelaskan hal itu agar mereka mengenal keadaanku, termasuk generasi sesudahku yang mengetahui sejarah hidupku, dari kawan-kawan dari Indonesia, dan lain-lain," tulis Syekh Chatib.
Dalam otobiografinya ini, Syekh Chatib bercerita tentang kehidupan masa kecilnya di Minangkabau, perjalanan dua kali ke Makkah, guru-guru yang mendidiknya, kitab yang dipelajarinya, serta kisah pernikahan dan keluarganya. Saat membaca kisah hidup Syekh Chotib, para pembaca akan merasa seperti membaca novel, karena kata-kata yang disusun Syeh Chatib sangat ringan.
Manuskrip otobiografi ini ditulis oleh Syekh Chatib empat bulan sebelum wafat pada 1916. Namun, yang sangat berharga bagi para pembaca buku ini adalah nasihat-nasihat Syekh Chatib. “Inilah nasihat dari lubuk hati dan air mata yang terus mengalir di pipi,” kata Syekh Chatib.
Salah satu nasihat yang disampaikan Syekh Chatib adalah tentang kemuliaan ilmu. Menurut Syekh Chatib, ilmu bisa didapatkan dengan belajar dan mengajar, serta berperilaku seperti perilaku ulama. Menurut dia, melalaikan ilmu sebelum mendapatkannya berarti puas dengan kebodohan dan kebutaan, untuknya mati lebih baik daripada hidup.
Sementara itu, jika lalai setelah mendapatakannya maka kelalaian itu membawanya pada kebodohan yang murni. Menurut Syekh Chatib, sangat banyak orang berilmu yang meninggalkan ilmunya dan kembali pada kebodohan yang nyata. Karena itu, dia berpesan kepada umat Islam untuk mengikat erat-erat ilmunya.
Syekh Chatib mengutip sebuah syair berikut: llmu adalah binatang buruan sedangkan menulis adalah tali ikatannya. Ikatlah bintang buruanmu dengan tali yang kuat. Di antara kebodohan kamu menangkap buruan, kemudian kamu biarkan lepas bersama binatang lain dengan bebas.
Syekh Chatib mengatakan, ilmu tidak akan berkembang kecuali dengan belajar dan mengajar. Orang yang melalaikan ilmu, maka ilmu itu akan pergi dari hatinya dan jadilah dia orang yang bodoh.
Menurut dia, Allah sendri dalam Alquran telah mencela orang yang berubah dari seseorang yang berilmu menjadi orang yang tidak berilmu. “Dia (orang yang berubah tersebut) tercela secara logika dan agama,” kata Syekh Chotib.