Kamis 25 Jul 2019 04:45 WIB

Green Sukuk Berpeluang Kembali Diterbitkan Tahun Depan

Green sukuk belum jadi program reguler pemerintah untuk mendapatkan pendanaan syariah

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Sukuk
Sukuk

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Instrumen pembiayaan syariah untuk proyek ramah lingkungan, green sukuk, kembali berpeluang untuk kembali diterbitkan pada tahun depan. Hal itu sejalan dengan perkembangan minat investor untuk masuk ke sektor investasi hijau.

Direktur Pembiayaan Syariah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), Kementerian Keuangan, Dwi Irianti Hadiningdyah menyampaikan, penerbitan green sukuk yang telah dimulai pada tahun 2018 lalu telah melalui proses yang tidak mudah.

Baca Juga

Ia mengatakan, sangat disayangkan jika green sukuk tidak dilanjutkan sebagai program reguler pemerintah untuk mendapatkan pendanaan di pasar surat utang syariah. Instrumen sukuk juga dinilai menjadi pendorong utama menggaet lebih banyak investor di sektor pembiayaan syariah.

"Tentu (penerbitan) green sukuk tergantung kebijakan pimpinan. Tapi kita berharap green sukuk terus diterbitkan secara reguler," kata Dwi kepada wartawan di Surabaya, Rabu (24/7).

Di satu sisi, Dwi mengatakan, kewajiban membuat laporan dari dampak adanya pembiayaan melalui green sukuk juga tidak mudah. Sebab, antar kementerian lembaga harus berkoordinasi secara intensif untuk menghitung dampak pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi dan lingkungan.

Ia mengakui, hingga saat ini belum ada standar baku yang digunakan pemerintah dalam menghitung dampak dari investasi hijau. Meski begitu, pihaknya telah menggandeng Bank Dunia, UNDP, serta HSBC dalam melalukan penghitungan dampak dan penyusunan laporan. 

Lebih lanjut, pihaknya memgaku tengah mempertimbangkan untuk membuka green sukuk di sektor ritel sehingga dapat dibeli oleh investor individu atau masyarakat biasa. Pertimbangan tersebut lantaran dirinya mengaku banyak permintaan yang datang dari individu agar green sukuk dibuka untuk umum.

"Jadi, kita pun berharap penerbitan green sukuk bisa terus ditingkatkan. Kita akan terus ikuti pasar untuk mengembangkan instrumen syariah," kata dia.

Pada Maret 2018 Kementerian Keuangan telah menerbitkan green sukuk dengan total nilai sebesar 1,25 miliar dolar AS dari 146 investor dengan besaran imbalan 3,75 persen. Kemudian pada Februari 2019, pemerintah kembali menerbitkan green sukuk dengan nilai mencapai 750 juta dolar AS dari 183 investor dengan imbalan 3,9 persen.

Jika diakumulasikan, maka pendanaan dari green sukuk telah mencapai 2 miliar dolar AS. Menurutnya, jumlah itu masih cukup kecil jika dibandingkan dengan total kebutuhan pendanaan untuk proyek pembangunan berkelanjutan.

Dwi menjelaskan, kurun waktu 2015-2019, alokasi pendanaan untuk menanggulangi dampak perubahan iklim di Indonesia sebesar 55 miliar dolar AS. Padahal, secara riil total kebutuhan mencapai sekitar 81 miliar dolar AS sehingga terdapat kekurangan 26 miliar dolar AS.

"Dengan gap itu maka porsi green sukuk saat ini masih kecil. Tapi, perlu diingat meskipun kecil dampaknya luar biasa besar terhadap lingkungan dan ini menimbulkan kesadaran investor," ujar dia.

President International Centre of Education in Islamic Finance (INCEIF) Dato' Azmi Omar, menambahkan, keuangan syariah merupakan instrumen keuangan syariah yang dapat dijadikan alat untuk mewujudkan impact investing. Impact investing adalah investasi yang tidak hanya diarahkan untuk mendapatkan profit semata, tapi juga memberikan dampak positif bagi persoalan sosial masyarakat dan lingkungan hidup.

"Keuangan syariah memiliki banyak sekali persamaan dan tercipta untuk saling melengkapi," kata dia.

Beberapa persamaan tersebut, di antaranya bahwa keduanya menghubungkan antara kegiatan bisnis dan kegiatan sosial kemasyarakatan serta mempunyai tujuan untuk menyejahterakan masyarakat, serta mempromosikan keuangan inklusif.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement