Kamis 25 Jul 2019 08:11 WIB

Duduk di Kursi Roda, Dokter Romi Batal Jadi CPNS

Pemkab Solok Selatan mencoret namanya dengan alasan Romi tidak sehat fisik.

Drg Romi Syofpa Ismael
Foto: Dok LBH Padang
Drg Romi Syofpa Ismael

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Romi Syofpa Ismael, seorang dokter gigi asal Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat (Sumbar), terpaksa menggugat Pemerintah Kabupaten Solok Selatan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Padang. Gugatan dilayangkan karena Pemkab Solok Selatan menyatakan Romi tidak bisa menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kabupaten Solok Selatan.

Padahal sebelumnya, Romi sudah dinyatakan lolos seleksi. Pemkab Solok Selatan mencoret namanya dengan alasan Romi tidak sehat secara fisik atau merupakan penyandang difabel karena duduk di kursi roda.

"Saya harus mengalami kondisi seperti ini (berjuang menggugat ke PTUN) karena merasa diapresiasi oleh masyarakat dan pihak Dinas Kesehatan Solok Selatan,\" kata Romi kepada Republika, Rabu (24/7).

Romi mengatakan, ia sudah melengkapi berbagai syarat selama menjalani proses seleksi CPNS, termasuk keterangan sehat jasmani. Tak hanya itu, ia juga sudah melewati Standar Operasional Prosedur (SOP) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), di antaranya pemeriksaan jantung, mata, paru-paru, gigi, darah, dan penyakit dalam.

Menurut Romi, tim dokter menyatakan tubuhnya sehat dan tidak bermasalah, serta tidak ditemukan kelainan. \"Saya tidak ada kelainan darah, jantung, mata, gigi, tak ada masalah. Dokter dari RSUD sudah menyatakan sehat,\" ungkap Romi.

Romi mengaku, ia melamar posisi CPNS untuk formasi umum. Hal tersebut tidak bermasalah karena sejak awal tidak terdapat aturan tegas dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) yang melarang difabel mendaftar posisi tersebut. "Untuk formasi umum tidak ada larangan atau aturan baku melarang difabel," jelas Romi.

Romi mengungkapkan, pencoretan namanya dari CPNS tidak masuk akal. Ia menyadari,kondisi fisik membuatnya harus duduk di kursi roda. Namun, Romi bukanlah seorang difabel dari lahir.

Romi mengidap Paraphlegia, yakni kelumpuhan yang menyerang bagian tungkai kakinya. Namun, ungkap Romi, penyakit tersebut bisa sembuh dengan pengobatan. Saat ini, penyakitnya berangsur pulih meski perlahan.

"Progresnya sekarang sudah bisa pakai alat bantu di sekitar area rumah. Untuk sembuh total, tergantung usaha dan kedisiplinan dalam latihan. Untuk pulih seutuhnya, tentu saya berharap sama Allah SWT," kata Romi.

Romi kemudian, melaporkan kasusnya ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang kini bertindak sebagai kuasa hukumnya. Direktur LBH Padang, Wendra Rona Putra, menilai, kliennya sebagai difabel telah diperlakukan secara diskriminatif.

Wendra mengatakan, selain tidak pernah mengundurkan diri, Romi juga telah dinyatakan lulus seluruh tahapan seleksi dan uji kompetensi. Kliennya telah mengantongi surat dari tiga instansi berwenang yang menyatakan, keterbatasan fisiknya tidak akan mengganggu tugasnya sebagai dokter gigi.

"Kami berencana memidanakan kasus ini merujuk pada UU Perlindungan Disabilitas No.8/2016. Di sana ada pasal menghalang-halangi disabilitas untuk mendapatkan pekerjaan yang ada ancaman pidananya," kata Wendra, Rabu.

Kepala Puskesmas Talunan, Berherdiman, mengatakan, kondisi Romi sebagai dokter yang mengabdi untuk masyarakat tidak mengalami kendala. Menurutnya, tak pernah ada komplain dari pasien terkait pelayanan yang diberikan Romi meski ia duduk di kursi roda.

"Dalam melayani pasien, tidak ada masalah. Dia bisa merawat pasien dengan baik. Tidak ada pasien yang komplain," kata Berherdiman kepada Republika, Rabu.

Berherdiman mengatakan, di samping nilai tes CPNS yang layak lulus, Romi memang berhak lulus CPNS karena sudah punya pengalaman dan disukai masyarakat di lingkungan Puskesmas Talunan. Pihaknya mendukung usaha Romi menempuh jalur hukum.

Berherdiman menjelaskan, drg Romi sudah bekerja sebagai tenaga dokter gigi di Puskesmas Talunan sejak 2015 lalu melalui jalur Pegawai Tidak Tetap (PTT) dari Kementerian Kesehatan. Ketika kontrak PTT Kemenkes sudah habis 2017 lalu, Romi lanjut bertugas di Puskesmas Talunan sebagai PTT Daerah.

Berherdiman menilai, seandainya kelumpuhan Romi memang jadi masalah saat melayani pasien, harusnya Romi pun tidak lulus dalam perpanjangan PTT daerah. Lagi pula, kata Berherdiman, Romi bukan difabel. Difabel, menurutnya, seandainya penyakit yang diderita Romi sejak kecil.

"Dia (Romi) kan tidak disabilitas. Dia bukan cacat dari kecil, baru tiga tahun kakinya lumpuh. Puskesmas berharap dia masih bisa lanjut sebagai CPNS," ujar Berherdiman.

Sebelumnya, Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Solok Selatan, Yulian Efi, membantah tudingan Pemkab Solok Selatan tidak ramah difabel. Menurutnya, Romi dicoret karena dianggap tidak memenuhi syarat untuk formasi umum.

Yulian mengatakan, pencoretan tersebut sudah melalui proses panjang hingga melewati konsultasi dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD), Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) dan Kementerian Kesehatan. "Intinya beliau, drg Romi tidak memenuhi kriteria persyaratan pada formasi umum," kata Yulian yang memberikan keterangan resmi di Padang Aro, Selasa lalu. n febrian fachri, ed: nora azizah

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement