REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Sapto Andika Candra, Antara
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir berencana mendatangkan rektor dari luar negeri ke universitas di Indonesia. Nasir bahkan mengklaim telah mengantongi izin dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) soal rencana pemerintah yang akan mendatangkan rektor asing.
"Sudah saya sampaikan secara lisan, Bapak Presiden setuju," katanya usai menghadiri pengambilan sumpah dokter baru Universitas Diponegorodi Semarang, Jawa Tengah, Kamis (1/8).
Rencana ini, kata Nasir, akan disampaikan dalam rapat kabinet agar dapat direspons. Tahapan berikutnya, menurut dia, akan dilakukan perbaikan terhadap tata kelola serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Budget, sistem akan ditata. Undang-undang harus diperbaiki," katanya.
Ia menerangkan, di Indonesia terdapat sekitar 4.700 perguruan tinggi. Penerapan wacana rektor asing yang akan dimulai pada 2020 itu, kata dia, diawali dengan pemetaan perguruan tinggi yang akan melaksanakannya.
Pada tahap awal, lanjut dia, akan diambil contoh di dua sampai lima perguruan tinggi untuk pelaksanaannya. "Bisa PTNBH, bisa swasta, akan dilihat dulu," katanya.
Rencana mendatangkan rektor asing ini menuai kontroversi dari berbagai pihak. Sejumlah rektor yang saat ini menjabat menilai Indonesia belum siap untuk menerima rektor dari luar negeri. Sebab, masih banyak hal urusan kelembagaan yang bermasalah di perguruan tinggi saat ini.
"Ini bukan jalan satu-satunya. Ini adalah alternatif yang saya ambil pada saat ini. Dan kita coba bandingkan pada 2020-2024 kalau ada rektor asing dampaknya apa yang terjadi," kata Nasir kepada wartawan, Selasa (30/7).
Ia mengatakan, saat ini banyak negara yang sudah mendatangkan ilmuwan-ilmuwan asing untuk memimpin perguruan tinggi di negaranya. Ia mencontohkan di Arab Saudi, universitas yang sebelumnya berada pada ranking di bawah 800 kini menjadi ranking 120-an. Selain itu, hal serupa juga dilakukan di Singapura, Taiwan, dan Hongkong.
"Negara lain telah melakukan ini dan mendapatkan dampak positif. Kita kan masih takut," kata Nasir lagi.
Nasir juga mencontohkan Nanyang Technological University (NTU) di Singapura yang baru didirikan pada 1981. Namun, kini sudah masuk 50 besar dunia dalam waktu 38 tahun.
"Saya ambil contoh Nanyang Technological University. NTU itu berdiri tahun 1981. Mereka di dalam pengembangan, saya pada saat itu diskusi dengan menteri dari Singapura, apa sejarahnya sehingga berhasil. Ternyata mereka mengundang rektor dari Amerika dan beberapa dosen. Mereka dari berdiri belum dikenal. Sekarang bisa masuk 50 besar dunia," ujarnya.
Mantan Rektor Universitas Diponegoro ini mengatakan, saat ini hanya ada tiga universitas di Indonesia yang berada pada ranking 500 besar. Oleh sebab itu, untuk menjadikan Indonesia berada pada universitas kelas dunia perlu meniru negara-negara yang telah berhasil mendatangkan rektor asing untuk memajukan pendidikan tinggi mereka.
Nasir memastikan bahwa pemerintah akan menyediakan langsung pendanaan untuk gaji rektor luar negeri tanpa mengurangi anggaran perguruan tinggi negeri tersebut. Dia mengakui saat ini ada beberapa perbaikan peraturan yang diperlukan untuk dapat mengundang rektor luar negeri untuk dapat memimpin perguruan tinggi di Indonesia. Begitu juga dengan dosen luar negeri untuk dapat mengajar, meneliti, dan berkolaborasi di Indonesia.
"Saya laporkan kepada Bapak Presiden, ini ada regulasi yang perlu ditata ulang. Mulai dari peraturan pemerintahnya. Peraturan menteri kan mengikuti peraturan pemerintah. Nanti kalau peraturan pemerintahnya sudah diubah, peraturan menteri akan mengikuti dengan sendirinya," tuturnya.
Nasir mengaku dirundung selama beberapa pekan terakhir ini menyusul rencana pemerintah yang akan mendatangkan rektor asing. Menurutnya, penolakan atas wacana pada saat itu sangat luar biasa.
"Saya hanya berpikir bagaimana perguruan tinggi di Indonesia bisa masuk kelas dunia, itu saja," kata Nasir.
Kepala Staf Presiden Moeldoko ikut menjelaskan latar belakang di balik ide diundangnya rektor dari luar negeri untuk memimpin perguruan tinggi di Indonesia, mulai 2020. Moeldoko mengungkapkan, dalam sebuah kesempatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menyampaikan ide untuk menjajal membuka ruang bagi rektor asing memimpin perguruan tinggi nasional.
"Biar menjadi tantangan tersendiri. Kalau itu dilakukan dan bisa menumbuhkan persaingan, itu juga bagus. Saya mohon jangan dilihat dari sisi yang sempit, namun dari global kompetisi kita berada di mana," ujar Moeldoko di Kantor Staf Presiden, Kamis (1/8).
Diundangnya rektor asal luar negeri untuk mengelola kampus dalam negeri juga diyakini Moeldoko mampu mendongkrak peringkat perguruan tinggi nasional di kancah global. Presiden Jokowi, ujar Moeldoko, juga berniat mendorong agar sumber daya manusia (SDM) dalam negeri mampu berkompetisi dengan laju yang lebih cepat.
"Kalau ada rektor dari luar, mungkin ada BUMN dirut dari luar, presiden ingin melihat bagaimana kalau bangsa ini berkompetisi. Poinnya di situ, kita ingin masuki dunia kompetitif," ujarnya.
Sementara itu, praktisi pendidikan Edy Suandi Hamid meminta agar pemerintah mengkaji lebih dalam terkait rencana mendatangkan rektor asing. Sebab, menurut dia masalah yang ada di universitas tidak akan langsung selesai dengan mendatangkan rektor asing.
"Ibaratnya kita melihat itu ada tikus di lumbung padi, padinya dibakar. Berlebihan jadinya," kata Edy pada Republika.
Ia menjelaskan, sebenarnya Indonesia memiliki cukup orang untuk menjadi rektor. Namun, saat ini memang banyak keluhan soal rektor yang tidak mumpuni. Menurut dia, rektor yang tidak mumpuni tersebut muncul karena perekrutan rektor yang tidak baik.
Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini mengatakan, seharusnya memperbaiki pola perekrutan rektor. Tidak hanya perguruan tinggi di bawah Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), namun juga perguruan tinggi di bawah Kementerian Agama.
Ia menilai, selama ini intervensi birokrasi perekrutan rektor terlalu besar. Hal inilah, menurut Edy yang menyebabkan muncul rektor-rektor yang tidak memiliki kualifikasi yang baik.
Menurut dia, sebaiknya pemilihan rektor diserahkan kepada lembaga senat universitas. Sebab, lembaga senat pemerintah adalah pihak yang paling mengetahui kondisi orang-orang yang ada di perguruan tinggi.
Pemerintah pusat seharusnya hanya membuat peraturan dan mengawasi. Saat ini pemilihan rektor terlalu banyak dicampuri oleh pemerintah pusat. "Jakarta mana tahu kondisi lokal di Aceh sana, katakanlah. Paling dengar omongan orang-orang. Tapi kalau orangnya punya kepentingan kan informasinya sesat," kata Edy.
Meskipun demikian, menurut dia, rektor asing memang umum dilakukan di negara lain. Namun, baiknya Indonesia berhati-hati karena banyak pertimbangan yang harus dilakukan terkait perekrutan rektor asing.