Media sosial Twitter meminta maaf kepada para penggunanya karena mengaku telah membagikan data pribadi pengguna kepada pihak pengiklan tanpa izin si Pemilik Akun. Twitter pun menyangkal bahwa data yang dibagikan berisikan alamat email ataupun kata sandi.
Dalam situs resminya, Twitter menyampaikan kemungkinan data-data tersebut telah dibagikan kepada pihak pengiklan sejak Mei 2018 lalu. Kepada DW Indonesia, pakar kemanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menyampaikan memang belum lama ini Twitter membuka layanan fitur iklan layaknya Facebook Ads dan Google Adword.
Dengan menjual informasi data pribadi pengguna kepada pengiklan merupakan salah satu cara Twitter untuk meraih keuntungan. Namun hal itu menurutnya terjadi sebelum diberlakukannya Regulasi 2016/679 tentang Regulasi Umum Perlindungan Data, yakni regulasi hukum Uni Eropa yang mengatur perlindungan data pribadi di dalam maupun di luar Uni Eropa.
“Sebelum ada GDPR (General Data Protection Regulation) dan aturan ketat lain, Twitter meraih untung salah satunya dari penjualan data para penggunanya. Termasuk pada 2018, Twitter diketahui menjual data pada Cambridge Analytica dan juga para pengiklan di Twitter,” terang Pratama saat dihubungi DW Indonesia, Kamis.
Seberapa berharga data pengguna?
Lebih lanjut Pratama menjelaskan semenjak kejadian tersebut Twitter terus berbenah mematuhi peraturan ketat GDPR. Salah satunya dengan mengembangkan model monetize baru untuk meninggalkan model ‘memanen data’ yang selama ini mereka lakukan.
Namun ia kembali menyayangkan terdapatnya bug atau cacat desain pada aplikasi Twitter seperti yang mereka akui, yang mengakibatkan data pengguna bisa diambil oleh para pengiklan.
“Data kode negara dan device diyakini diambil oleh para pengiklan di Twitter,” tambahnya.
Berdasarkan data-data tersebut, tidak mengherankan jika pengiklan nantinya menyajikan konten iklan yang sangat berkaitan dengan profil, pengalaman, hingga hal-hal yang kerap dijumpai di sekitar para penguna. Pratama menilai hal tersebut berbahaya karena data pribadi seyogyanya tidak boleh disebar kepada pihak ketiga tanpa izin.
“Jadi data yang sensitif, soal masing-masing penguna ini mengakses apa saja dan suka apa saja bisa lebih jauh diketahui oleh pihak ketiga. Hal ini jelas mengganggu, meski bagi pengiklan ini adalah data yang sangat berharga,” imbuh Pratama.
“Indonesia sendiri belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi,” Pratama menambahkan.
Melek bersosmed
Lebih lanut pakar keamanan siber itu menginggatkan bahwa saat ini netizen masih cenderung mengikuti tren dan ‘sabda’ para buzzer media sosial. Padahal netizen seharusnya meningkatkan literasi serta pemahaman mereka dalam bersosial media dengan merujuk kepada akademisi atau sumber kredibel di tengah gempuran konten-konten digital.
Netizen pun juga diharap lebih bijak dalam menggunakan sosial media agar terhindar dari jeratan Undang-Undang ITE. “Jadilah orang yang produktif di dunia maya. Orang yang produktif tidak akan sibuk dengan konten negatif, bahkan konten yang diproduksinya bisa saja menghasilkan pundi-pundi uang,” pungkasnya.
Sebelumnya kejadian seperti ini pernah terjadi pada April 2018 lalu. Sebanyak 87 juta data pengguna Facebook di seluruh dunia bocor. Setidaknya ada 1,1 juta data diketahui berasal dari Indonesia.
Data tersebut digunakan untuk kepentingan sebuah lembaga konsultasi politik, Cambridge Analytica. Lembaga tersebut memanen data para pengguna Facebook secara illegal. Hal ini pertama kali dibeberkan oleh mantan pegawai Cambridge Analytica, Christopher Wylie.
rap/ ts