REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) terus memonitor rentetan gempa bumi yang terjadi sepanjang Agustus 2019 di Busur Subduksi Sunda. Namun, tidak semua klaster aktif akan berujung kepada terjadinya gempa besar.
"Satu hal yang penting diingat bahwa tidak semua klaster aktif akan berujung kepada terjadinya gempa besar, meskipun setiap gempa besar selalu di dahului oleh serangkaian aktivitas gempa pendahuluan," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG Daryono di Jakarta, Senin (12/8).
Hasil monitoring BMKG menunjukkan bahwa sejak awal Agustus 2019 telah terjadi rentetan aktivitas gempa bumi di Busur Subduksi Sunda. Aktivitas gempa signifikan ini tersebar dari Segmen Megathrust Mentawai-Siberut hingga Segmen Megathrust Sumba.
Diawali dengan peristiwa gempa kuat dan merusak di Banten berkekuatan magnitudo 6,9 pada 2 Agustus 2019, rentetan gempa masih terus mengguncang hingga hari ini. Pada Senin (12/8), sudah dua kali wilayah selatan Bali dan Banyuwangi diguncang gempa berkekuatan magnitudo 4,9.
Sejak awal Agustus 2019 tercatat di Busur Subduksi Sunda sudah lebih dari delapan kali terjadi gempa signifikan, yaitu pada 2 Agustus 2019 Gempa Selatan Banten magnitudo 6,9. Pada 3 Agustus 2019 Gempa Sukabumi bermagnitudo 4,4.
Pada 9 Agustus 2019 Gempa Sumba bermagnitudo 4,3, pada 10 Agustus 2019 Gempa Tasikmalaya dan Pangandaran magnitudo 4,0. Lalu pada 10 Agustus 2019 Gempa Tasikmalaya dan Pangandaran magnitudo 5,1, pada 11 Agustus 2019 Gempa Pariaman magnitudo 5,2.
Pada 11 Agustus 2019 Gempa Selatan Selat Sunda magnitudo 5,1 serta pada 12 Agustus 2019 Gempa Selatan Bali dan Banyuwangi dengan magnitudo 4,9.
"Rentetan gempa ini sangat menarik dicermati. Seluruh gempa berpusat di Zona Subduksi. Memang ada variasi kedalaman hiposenternya, dalam hal ini ada pusat gempa yang sangat dangkal bersumber di zona subduksi muka (front subductioan) tetapi ada juga yang berada di kedalaman menengah di zona transisi antara zona Megathrust dan Benioff," kata dia.
Namun, menurut dia, belum dapat dipastikan apakah rentetan gempa tersebut merupakan gempa pendahuluan sebelum terjadinya gempa besar atau foreshocks. Hasil monitoring BMKG memang menunjukkan adanya klaster yang mencolok terkait adanya peningkatan aktivitas seismik, yaitu zona selatan Bali dan Banyuwangi, Zona Cilacap dan Pangandaran, dan Selat Sunda.
Jika mencermati peristiwa gempa besar di seluruh dunia memang dapat diamati gempa pendahuluannya. Fakta ini dapat dilihat sebelum peristiwa gempa Aceh 2004, Gempa Tohuku 2011, dan Gempa Cile 2014. Semua gempa besar tersebut didahului oleh serangkaian gempa pendahuluan.
Dari beberapa hasil kajian, ada beberapa karakteristik aktivitas gempa pendahuluan yang dapat diidentifikasi, yaitu, gempa pendahuluan biasanya terjadi di zona dengan nilai “B-value” rendah. Nilai “B-value” rendah artinya di zona itu masih menyimpan tegangan yang tinggi, yang berpotensi terjadi gempa besar.
Karakteristik lainnya, di zona tersebut ada fenomena migrasi percepatan titik hiposenter yang semakin cepat menuju titik inisiasi lokasi estimasi gempa utama. Selain itu, teridentifikasi adanya repeating earthquakes.
"Cirinya gempa ini berulang-ulang dan terjadi di segmen tersebut. Secara sederhananya, ini menunjukkan ada sebuah proses yang semakin lama semakin intensif sebelum muncul gempa utamanya (mainshock). Aktivitas ini mirip kalau kita mau mematahkan kayu, perlahan-lahan ada retakan-retakan kecil sebelum benar-benar terpatahkan," jelasnya.
Namun, rentetan gempa yang terjadi sepanjang Agustus belum dapat disimpulkan sebagai tanda-tanda seismisitas mengarah ke gempa pendahuluan karena data aktivitas gempa yang terjadi belum cukup untuk disimpulkan. BMKG akan terus memonitor aktivitas seismik yang terjadi khususnya di tiga zona duga aktif tersebut dan hasilnya akan segera diinformasikan kepada masyarakat.