REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) mendesak negara-negara Eropa memberikan bantuan dan menampung 507 imigran yang telah diselamatkan. Saat ini, mereka terlunta-lunta di Laut Mediterania.
"Mereka membutuhkan bantuan kemanusiaan dan beberapa telah menyatakan mencari perlindungan internasional," ujar UNHCR dalam sebuah pernyataan dilansir Anadolu Agency, Rabu (14/8).
Utusan khusus UNHCR untuk Mediterania Tengah Vincent Cochetel mengatakan, kondisi para imigran semakin memburuk ketika badai datang. Dia menambahkan, membiarkan orang-orang yang melarikan diri dari perang dan kekerasan di Libya dalam cuaca badai di laut lepas akan menambah penderitaan mereka.
"Ini adalah perlombaan melawan waktu. Mereka harus segera diizinkan berlabuh dan diizinkan menerima bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan," ujar Cochetel.
UNHCR juga mendesak pemimpin Eropa dapat meningkatkan solidaritasnya kepada para pengungsi yang melarikan diri dari Libya. Mediterania Tengah membutuhkan peningkatan upaya pencarian dan penyelamatan. Oleh karena itu, perahu-perahu yang dioperasikan organisasi nonpemerintah (LSM) diharapkan dapat didukung untuk membantu menyelamatkan para imigran.
"Upaya mereka (para imigran) menyelamatkan hidup seharusnya tidak distigmatisasi atau dikriminalisasi," kata Cochetel.
Belum lama ini, Italia mengesahkan undang-undang yang memberlakukan denda hingga 1,12 juta dolar AS terhadap kapal penyelamat yang dikelola lembaga nonpemerintah. Wakil Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri Italia Matteo Salvini mengatakan, dia tidak akan mengizinkan imigran Libya untuk turun di Italia.
Pada awal Agustus, kapal milik LSM Spanyol, Proactiva Open Arms telah menyelamatkan sekitar 151 imigran. Selain itu, sekitar 356 orang telah diselamatkan dalam beberapa hari terakhir oleh kapal milik LSM Prancis, yakni Ocean Viking, SOS Mediterranee, dan Doctors Without Borders.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi, sebanyak 39.289 migran gelap dan pengungsi telah mencapai Eropa melalui laut sejak awal 2019. Sementara 840 orang lainnya meninggal dunia di laut. Antara 2014 dan 2018, lebih dari 30.500 imigran meninggal saat melakukan perjalanan berbahaya ke Eropa.
Setelah pemberontakan yang menumbangkan dan membunuh diktator Moammar Gadhafi pada 2011, Libya menjadi titik keberangkatan utama para migran dan pengungsi Afrika yang mencari kehidupan yang lebih baik di Eropa. Para penyelundup dan kelompok-kelompok bersenjata telah mengeksploitasi kekacauan Libya sejak penggulingan Ghadafi.
Imbasnya, para migran mendapatkan pelecehan yang meluas, termasuk penyiksaan dan penculikan untuk tebusan. Dalam beberapa tahun terakhir Uni Eropa telah bermitra dengan penjaga pantai dan pasukan Libya lainnya untuk mencegah migran melakukan perjalanan berbahaya melalui laut ke Eropa.