REPUBLIKA.CO.ID, Petani kopi menjerit karena turunnya harga biji kopi kering. Selain itu, serbuan kopi impor membuat petani lokal kian menderita, padahal usaha kedai kopi belakangan ini terlihat melaju pesat.
Nasib petani kopi Nusantara di daerah justru tergerus kopi impor. Hal itu yang kini dialami Sudirman, petani kopi di Desa IV Suku Menanti, Kecamatan Sindang Dataran, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Sudirman dan sesama petani lainnya justru menjerit menghadapi sulitnya keadaan.
Rendahnya harga jual biji kopi di Bengkulu sejak beberapa bulan belakangan membuat sejumlah petani di daerah itu menebangi tanaman kopi di kebun mereka, tak terkecuali Sudirman. "Ini sebagai bentuk protes atas rendahnya harga jual biji kopi kering di tingkat petani," ungkap Sudirman, Selasa lalu.
Sudirman mengaku, saat ini harga biji kopi kering Rp 15.000 per kilogram, dan harganya turun dari sebelumnya berkisar dari Rp 22.000 per kilogram. Turunnya harga jual biji kopi membuat semangat petani kopi mengendur.
Penurunan harga jual biji kopi di tingkat petani itu sangat berdampak bagi kehidupan mereka. Belum lagi produksi biji kopi yang dihasilkan kebun mereka juga sedang menurun akibat pengaruh cuaca.
Sejauh ini dari informasi yang diterima Sudirman, anjloknya harga kopi ini akibat masuknya kopi dari Vietnam yang kembali ekspor pengusaha kopi ke luar negeri. Para pengusaha lebih memilih kopi Vietnam karena harganya lebih murah, dan kualitasnya sama dengan yang dihasilkan petani Indonesia.
"Berdasarkan informasi yang kami terima karena banyak kopi impor dari Vietnam yang masuk ke Indonesia dengan harga murah sehingga kopi lokal kalah, tetapi itu benar atau tidak kami belum tahu," ujar Sudirman.
Selain mengeluhkan terjadinya penurunan harga, kalangan petani di daerah itu juga waswas karena banyak pedagang pengepul tidak membeli kopi mereka. Kalaupun ada yang membeli, tidak langsung dibayar tetapi menunggu kopinya dibeli toko kopi. Padahal, usaha menjadi petani kopi itu mayoritas dilakoni warga daerah itu dan sudah mereka tekuni secara turun-temurun dari orang tua.
Rendahnya harga jual biji kopi kali ini membuat petani tergoda untuk berpaling menanam aneka jenis sayuran yang saat ini harganya sedang mahal. Sebut saja cabai merah, cabai rawit, dan beberapa jenis sayuran lainnya yang harganya tinggi. Jika harga kopi terus anjlok, tidak menutup kemungkinan mereka akan beralih menanam tanaman palawija maupun jenis tanaman lainnya.
Masuknya kopi impor ke Indonesia juga disayangkan Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI)Lampung. Tak hanya di Bengkulu, kopi Vietnam juga banyak ditemukan di Lampung.
Ketua AEKI Lampung, Juprius, kecewa dengan keberadaan kopi Vietnam tersebut. Menurutnya, harga kopi yang kian rendah membuat petani tercekik. Kalau harga terus turun seperti ini kasihan petani kopi Lampung, kata Juprius, belum lama ini.
Hingga akhir Juli, harga kopi Lampung mengalami penurunan 30 persen. Harga kopi sebelumnya Rp 25.000 per kilogram, tapi turun menjadi Rp 18.000 per kilogram. Untuk membantu petani, pihaknya terus melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung agar impor kopi dihentikan.
"Importir harusnya koordinasi dengan Pemprov untuk mengetahui alasannya harus impor, tidak adanya impor maka membantu petani kita mendapatkan harga yang bagus," jelas Juprius.
Perihal ini, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM)menginginkan agar skala ekonomi petani kopi agar dapat ditingkatkan melalui wadah usaha, khususnya koperasi. Kemenkop dan UKM saat ini melakukan edukasi kepada petani agar memandang komoditas kopi sebagai sebuah industri. Dengan demikian, petani akan menyadari bahwa mereka ada dalam sebuah ekosistem dan berperan sebagai bagian utama dari proses bisnis kopi.
Petani kopi kalau hanya sendiri- sendiri dengan menawarkan produksi yang terbatas akan sulit bersaing mendapatkan harga tinggi. Lebih baik petani yang produksinya kecil berkumpul dan menjual produknya bersama lewat koperasi. Skala ekonominya lebih besar, kata Deputi Produksi dan Pemasaran Kementerian Koperasi dan UKM, Victoria Simanungkalit, Selasa.
Victoria menyebutkan, koperasi bisa menjadi solusi bagi petani kopi. Melalui koperasi petani lebih mudah dapat memahami struktur pasar kopi, melakukan investasi dan meningkatkan nilai tambah dari komoditas yang mereka hasilkan. Pemerintah akan membantu dalam peningkatan daya saing, antara lain dengan standardisasi, akses pembiayaan, aspek perdagangan, dan aspek lainnya.
Koperasi sudah terbukti sebagai usaha bersama demi kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pemodal. "Petani kopi dapat meningkatkan skala ekonominya dengan bergabung dalam koperasi," jelas Victoria.
Salah satu koperasi yang menjadi mitra petani kopi adalah Koperasi Kopi Mitra Malabar asal Bandung, Jawa Barat (Jabar). Pendiri Koperasi Kopi Mitra Malabar Dhanny Rhismayaddi mengungkapkan, meski industri kopi begitu menggeliat, saat ini petani kopi pada umumnya masih terbelenggu dalam kemiskinan.
Menurut Dhanny, petani kopi hanya bisa bersaing jika berkelompok atau berkoperasi. Namun sayangnya, petani kopi yang tergabung dalam koperasi masih sedikit. Dalam bentuk koperasi petani sangat diuntungkan.
"Tanpa koperasi, petani pasti dikerjain tengkulak," kata Dhanny, Selasa.
Menurut dia, dengan bergabung dalam koperasi, tengkulak akan sulit melawan petani yang terikat menjual panennya ke koperasi. Akibatnya harga kopi di tingkat petani membaik.