Polemik terkait rencana penutupan sementara daerah tujuan wisata Pulau Komodo di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terus berlanjut.
Penolakan warga atas rencana itu semakin menguat dengan tersiarnya kabar penduduk di Pulau Komodo juga akan turut direlokasi ke daerah lain demi memuluskan program revitalisasi kawasan tersebut.
Sejak dua bulan terakhir, warga di Kampung Komodo, sebuah wilayah pemukiman yang terdapat di Pulau Komodo, satu dari 4 pulau yang berada di kawasan Taman Nasional Komodo mengaku resah mendengar kabar mereka akan direlokasi ke daerah lain.
Wacana relokasi ini terkait dengan program penataan ulang atau revitalisasi kawasan Taman Nasional Komodo yang akan dijadikan kawasan pariwisata unggulan baru.
Selain menata kawasan konservasi yang menjadi habitat satwa komodo, program revitalisasi ini juga mewacanakan relokasi warga yang bermukim di sekitar kawasan konservasi itu dan penutupan Pulau Komodo selama satu tahun mulai 2020 mendatang.
Haji Salam, 43 tahun, salah satu warga di Kampung Komodo, mengatakan seluruh warga di kampungnya menolak keras rencana relokasi itu.
"Kabar ini sudah sangat meresahkan, warga jadi tidak tenang menjalani aktivitas mereka karena takut dipindahkan."
"Warga tidak terima apalagi selama ini, gubernur tidak pernah berdialog atau sosialisasi dengan kita. Seratus persen warga di kampung Komodo menolak direlokasi," katanya.
Salam mengatakan tidak ada alasan bagi pemerintah untuk menggusur mereka dari tanah leluhur yang sudah mereka huni secara turun temurun sejak ratusan tahun lalu.
Karenanya warga Kampung Komodo mengaku sangat geram ketika otoritas NTT menyebut mereka tidak berhak atas kawasan itu dan dianggap penduduk liar.
"Tidak benar itu, kami dan leluhur kami sudah tinggal disini selama ratusan tahun, Wallohu alam sejak kapan, kami selama ini juga bayar pajak dan punya KTP resmi Manggarai Barat."
"Secara ulayat, taman Nasional Komodo adalah tanah ulayat kami. Ada kuburan nenek moyang kami yang sudah ratusan tahun, itu bukti kami bukan pendatang."
"Termasuk lokasi wisata Loh liang, itu sebenarnya juga tanah rakyat yang diambil paksa, tapi warga relakan karena untuk konservasi," tegas Salam.
"Masalah dengan komodo juga tidak ada, kami saling menjaga karena warga kami percaya legenda komodo adalah saudara kami."
"Kalau kami jahat, pasti itu satwa sudah punah, atau kami sudah ada yang dimangsa, tapi tidak pernah kan," paparnya ketika dihubungi wartawan ABC Indonesia Iffah Nur Arifah.
Haji Salam mengatakan kabar relokasi ini menjadi puncak penolakan warga di Pulau Komodo, setelah sebelumnya mereka juga menolak rencana penutupan sementara kawasan Taman Nasional Komodo selama satu tahun mulai 2020 nanti sementara kawasan itu direvitalisasi.
Salam mengatakan penutupan itu sama saja mematikan pendapatan utama masyarakat di Pulau Komodo.
Karena lebih dari 80% warga disana telah beralih mata pencaharian dari menjadi nelayan kini mengandalkan sektor pariwisata.
Pemilik usaha penyewaan perahu wisata dan homestay ini mengaku sejak rencana itu dirilis ke publik, jumlah kunjungan pelancong telah turun drastis.
"Sudah pasti berkurang, dulu biasanya setiap minggu pasti ada tamu yang homestay di rumah milik saya atau pesan pakai kapal untuk trip, tapi sekarang kalau ada mungkin sebulan sekali." ungkapnya
Haji Salam mengatakan sebagai warga asli di kawasan Taman Nasional Komodo, dirinya sangat berharap pemerintah juga turut memprioritaskan mereka dalam program revitalisasi ini.
"Kalau binatang mau dikonservasi, ya warganya juga di konservasi, jangan hanya komodonya saja di pedulikan, warganya juga harus dipedulikan."
"Tujuan pembangunan itu kan ujung-ujungnya untuk warga juga kan?" tukasnya.
Tim terpadu masih melakukan kajian
Sementara itu menyikapi keberatan warga ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) selaku otoritas yang berwenang atas kawasan TN Komodo meminta masyarakat untuk tenang dan tidak emosional menyikapi kabar yang beredar terkait revitalisasi ini.
Juru bicara KLHK, Jati Witjaksono mengatakan hingga kini tim terpadu yang dibentuk pemerintah untuk mengkaji rencana revitalisasi TN Komodo masih bekerja.
Hasil kajian mereka itu nanti yang akan menjadi dasar dari opsi-opsi kebijakan apa saja yang harus dilakukan pemerintah untuk merevitalisasi TN Komodo.
"Kita masih menunggu hasil kajian tim terpadu itu dulu, rekomendasi mereka seperti apa untuk revitalisasi disana, dan itu nanti akan disampaikan ke menteri LHK baru nanti menteri akan ambil keputusan." kata Jati Witjaksono.
KLHK sendiri menurut Jati sangat memahami keberatan warga.
"Kita juga berpendapat revitalisasi tidak berarti menutup. Tapi opsi apa yang akan dilakukan itu menunggu hasil kajian tim terpadu ini dulu." tandasnya.
Tim terpadu ini, pada Kamis (15/8/2019) berusaha bertemu untuk berdialog dengan warga di Pulau Komodo, namun pertemuan itu gagal terlaksana karena kedatangan mereka langsung disambut dengan aksi unjuk rasa warga menolak rencana penutupan dan relokasi tersebut.
ABC telah menghubungi Gubernur NTT, Viktor Lasikodat, namun belum mendapat tanggapan.
Rencana revitalisasi kawasan Taman Nasional Komodo terungkap sejak awal tahun 2019.
Gubernur NTT Viktor Lasikodat mengungkapkan pemerintah NTT bertekad menata TN Komodo menjadi daerah konservasi yang berkualitas tinggi seperti kepulauan Galapagos di Ekuador.
Pengelolaan yang hendak ditiru antara lain kebijakan pembatasan kunjungan untuk menghindari aktivitas wisata secara massal, meningkatkan tarif masuk ke kawasan TN Komodo sebagai kawasan wisata eksklusif.
Rencana penutupan itu sendiri dimaksudkan untuk memulihkan kawasan konservasi dengan meningkatkan ketersediaan makanan bagi satwa komodo dan juga menata sumber daya alam dan tumbuhan di kawasan itu.
Konservasi jangan korbankan warga
Sementara itu Walhi NTT menilai wacana penutupan dan relokasi warga yang mendiami Pulau Komodo ini tidak tepat.
Direktur walhi NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menilai revitalisasi yang akan dilakukan harus bersifat menyeluruh yang mencakup seluruh ekosistem di TN Komodo, termasuk didalamnya masyarakat yang mendiami Pulau Komodo.
Umbu menilai revitalisasi yang akan dilakukan harus bisa diarahkan pada pariwisata berbasis kerakyatan, warga menjadi bagian dari proses revitalisasi itu.
"Populasi komodo dan dan mata rantai komodo yang banyak hilang dicuri itu salah satu aspek akibat masyarakat setempat miskin sehingga mereka rentan dimanfaatkan oleh para cukong-cukong komodo dan begitu juga mata rantai makaan komodo."
"Bisa jadi warga disana tidak memantau kondisi konservasi di TN karena mereka tidak dilibatkan dalam proses penjagaan pulau komodo sebagai sebuah ekosisitem."
"Maka dari itu kita perlu dorong mereka lebih terlibat."
"Pemerintah NTT seharusnya mengirim pemuda di pulau Komodo untuk mempelajari komodo secara ilmiah untuk melengkapi kearifan local yang sudah mereka miliki, sehingga nantnya NTT sebagai satu-satunya wilayah yang memiliki Komodo juga punya pakar komodo yang asli orang NTT.
"Saat ini tidak ada."
Sementara itu Pater Marcel, tokoh agama yang mendampingin warga di Labuan Bajo mengatakan warga juga pada prinsipnya tidak keberatan dilakukan pembenahan tanpa mengorbankan mereka.
"Kemarin ada usulan agar populasi warga tidak menyerobot lahan konservasi, kami sepakat agar aturan tinggal di Pulau Komdi perlu diatur ketat, jangan lagi terima orang-orang baru di pulau komodo, tetapi dibatasi warga asli, itu kami tidak keberatan." katanya
"Kemarin juga ada usulan lebih baik ada dibuat tembok untuk membatasi wilayah pemukiman di luar konservasi ini, dilarang masuk ke daerah konservasi untuk komodo dan makananya dan kita setuju itu."
"Kita harus menjaga komodo agar dia terpelihara dan berkembang biak dengan baik." tukasnya.
Simak berita-berita lainya dari ABC Indonesia