Sabtu 17 Aug 2019 02:15 WIB

Industri SKT Dinilai Perlu Diberikan Insentif

SKT merupakan industri hasil tembakau yang banyak menyerap tenaga kerja.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Satria K Yudha
Buruh melakukan pelintingan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kudus, Jawa Tengah, Rabu (31/8).
Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Buruh melakukan pelintingan Sigaret Kretek Tangan (SKT) di Kudus, Jawa Tengah, Rabu (31/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku industri hasil tembakau (IHT) menyarankan pemerintah memberikan sejumlah insentif dan  membatalkan rencana simplifikasi struktur tarif cukai.  Simplifikasi dinilai bakal menciptakan persaingan tak sehat dan merugikan IHT golongan kecil.

Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengatakan,  struktur tarif cukai saat ini yang terdiri atas 10  golongan sudah mencerminkan kondisi IHT yang terdiri dari 437 pelaku industri dengan rentang variasi produksi sangat luas.

 

“Simplifikasi struktur tarif cukai akan menyebabkan terpukulnya pabrik golongan kecil, yang ujung-ujungnya hilangnya lapangan pekerjaan,” kata Sulami dalam keterangan tertulis, Jumat (16/8).

 

Sulami mengingatkan pemerintah bahwa dampak penggabungan sigaret kretek mesin (SKM) dan SPM (sigaret putih mesin) akan menciptakan persaingan tidak sehat karena menyebabkan pengusaha pabrik golongan menengah dan kecil terdampak, yakni mengalami lonjakan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) akibat naiknya golongan.

 

“Dalam konteks persaingan usaha, hal ini akan melemahkan pengusaha golongan menengah kecil, serta menguntungkan pengusaha pabrik dominan di segmen SKM maupun SPM,” tegasnya.

 

Sulami pun meminta pemerintah bersimpati atas kondisi IHT saat ini yang sedang terpuruk dengan menurunnya volume secara drastis. Ada penurunan 1-2 persen selama 4 tahun terakhir. Merujuk hasil riset Nielsen, pada bulan April 2018, terjadi penurunan volume industri hasil tembakau sebesar 7 persen

 

Agar kebijakan cukai tahun 2020 mencerminkan asas keadilan, Gapero Surabaya memberikan beberapa masukan pada pemerintah. Pertama, perlunya perlindungan dalam bentuk insentif tambahan bagi golongan sigaret kretek tangan (SKT) yang merupakan segmen padat karya.

 

“SKT adalah segmen IHT yang menyerap tenaga kerja terbanyak,” ujarnya.

 

Kedua, sambung Sulami, untuk memperlambat tren penurunan yang terus dialami IHT, pemerintah mesti memberikan preferensi tambahan untuk segmen SKT, antara lain perluasan batas jumlah produksi khususnya golongan II dan III, preferensi tarif cukai dan HJE semua golongan, yakni golongan I, II dan III. “Ketiga, kenaikan tarif dan HJE berdasarkan pada inflasi,” tegasnya.

 

Keempat, pengendalian harga transaksi pasar (HTP)  dengan pembatasan minimum 85 persen dari HJE hendaknya tetap dipertahankan. 

 

“Salah satu dampak simplifikasi adalah maraknya rokok ilegal. Karena itu, Gapero Surabaya mendukung pemerintah untuk peningkatan pemberantasan rokok ilegal. Pasalnya, rokok ilegal akan merugikan penerimaan negara,” terangnya.

 

Untuk diketahui, penggabungan batas produksi SKM dan SPM melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146 tahun 2017, sebelumnya telah dibatalkan pemberlakuannya melalui PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement