REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai, penugasan Perum Bulog sebagai penyalur beras untuk Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) akan membantu mengurangi stok yang menumpuk di gudang. Hanya saja, kebijakan tersebut akan kurang efektif.
Rusli mencatat, BPNT untuk alokasi beras pada 2019 diperkirakan 1,5 juta ton. Sedangkan, Bulog diperkirakan hanya mampu menyalurkan 700 ribu ton.
"Itu terdiri dari beras medium dan super," ujarnya ketika dihubungi Republika, Ahad (18/8).
Per Juni 2019, stok beras di gudang Bulog sekitar 2,2 juta ton, di mana sebagiannya merupakan sisa tahun lalu. Jadi, apabila Bulog hanya menyalurkan 700 ribu ton hingga akhir tahun 2019, masih ada sisa beras 1,5 juta ton. Sisa ini merupakan asumsi Bulog tidak melakukan operasi pasar.
Di sisi lain, Rusli menambahkan, Bulog juga melakukan penyerapan beras di tingkat petani. Dampaknya, hingga akhir Agustus 201, diperkirakan stok beras Bulog masih berkisar di atas 1 juta ton.
Rusli menyebutkan, angka 1 juta ton tersebut bisa digunakan untuk cadangan akhir tahun. Sebab, saat itu, produksi beras nasional menghadapi defisit atau jumlah produksi lebih sedikit dibandingkan tingkat konsumsi. "Penyebabnya, ketiadaan musim panen raya," tuturnya.
Untuk memaksimalkan pengurangan penumpukan beras di gudang-gudang, Rusli menganjurkan Bulog melakukan penyaluran beras ke sejumlah daerah. Khususnya, kabupaten/ kota yang diperkirakan mengalami kekeringan dan non sentra beras.
Selain itu, Rusli menuturkan, Bulog harus berkoordinasi dengan pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Koordinasi dilakukan terkait dengan pengelolaan stok beras nasional.
Rilis data produksi beras yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) tahun lalu dengan menggunakan metode Kerangka Sample Area (KSA) bisa menjadi acuan dalam management beras di tahun ini. Perlu diketahui, Rusli menuturkan, melimpahnya stok beras Bulog di semester pertama 2019 disebabkan impor berlebih di tahun 2018. "Ini akibat ketiadaan validitas data produksi beras di awal 2018," ucapnya.
Penugasan Bulog sebagai penyalur beras medium dan premium untuk BPNT secara resmi dimulai per 1 September 2019. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas) menyebutkan, kebijakan ini sudah menjadi kesepakatan antara Kementerian Sosial dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Melalui program BPNT, beras medium Bulog dilepas di pasaran dengan harga Rp 8.100 per kilogram (kg). Bila sampai pasar, harganya naik menjadi Rp 8.600 per kg.
Artinya, dengan harga Rp 86 ribu masyarakat sudah bisa membawa pulang 10 kg beras medium. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan beras premium yang bisa dibeli masyarakat melalui program BPNT sebelumnya, yakni Rp 86 ribu untuk 5 kg beras.