Sejumlah pekerja menurukan sampah yang diambil dari sebuah pabrik kertas di Desa Bangun di Mojokerto Jawa Timur. (FOTO : Willy Kurniawan/Reuters)
Sunarni duduk di antara tumpukan sampah sementara menantu laki-lakinya memilah sampah, di Desa Bangun, Jawa Timur. (FOTO : Willy Kurniawan/Reuters)
Anak berbaring di tumpukan sampah sebuah desa di Mojokerto Jawa Timur. (FOTO : Willy Kurniawan/Reuters)
Sampah plastik yang telah dipisahkan di Desa Bangun di Mojokerto Jawa Timur. (FOTO : Willy Kurniawan/Reuters)
Sampi (56) warga Desa Bangun, Mojokerto Jawa Timur, menunjukkan sobekan mata uang dolar AS yang ditemukannya di antara sampah. (FOTO : Willy Kurniawan/Reuters)
Rayhan Fastabichul Khoirot, (5) bermain di rumah neneknya di Desa Bangun di Mojokerto Jawa Timur. (FOTO : Willy Kurniawan/Reuters)
Pekerja di Desa Bangun Mojokerto Jawa Timur mengolah sampah untuk dijadikan bahan bakar di pabrik tahu (FOTO : Willy Kurniawan/Reuters)
Pekerja tengah menggoreng tahu dengan menggunakan samoah sebagai bahan bakar di sebuah industri rumahan di Sidoarjo, Jawa Timur. (FOTO : Willy Kurniawan/Reuters)
inline
REPUBLIKA.CO.ID, MOJOKERTO -- Pengetatan impor sampah oleh pemerintah beberapa waktu lalu disambut baik oleh aktivis lingkungan. Namun tidak oleh sebagian besar warga Desa Bangun di Jawa Timur.
Bagi warga desa ini hasil memilah sampah impor bisa menghasilkan lebih banyak uang dibandingkan dengan bertani. Mereka bisa membiayai anak sekolah, membangun rumah bahkan pergi haji dari hasil memilah sampah ini.
Mereka menjual sampah plastik dan alumunium dari sampah impor yang didapatnya dari pabrik setempat. Bahkan mereka pun menjual sampah sebagai bahan bakar bagi untuk industri kecil penggorengan tahu.
sumber : Reuters
Advertisement