REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sebuah manuskrip Palembang yang cukup langka mencatat penangkapan kejadian pasca pemakzulan Kesultanan Palembang Darussalam oleh kolonial Belanda secara sepihak pada 1821.
Belanda menangkap dan mengasingkan Sultan Mahmud Badaruddin Raden Hasan (SMB II) dan keluarganya ke Ternate (Maluku) dan daerah lainnya secara bertahap. Diaspora atau bercerai berainya keluarga besar Kesultanan Palembang yang tersebar ke berbagai penjuru wilayah Timur yang jauh ini terus berlanjut hingga 1883.
Pemerhati manuskrip Palembang, KH Andi Syarifuddin, mengatakan dalam naskah Palembang disebutkan, pemerintah kolonial Belanda memerintahkan menangkap para keluarga Sultan Palembang yang telah masuk dalam 'daftar hitam', mereka berjumlah lebih dari 45 orang.
Dia menyebutkan, Residen PF Laying Tobias pada10 Zulhijjah 1298H (31-10-1881), kembali menangkap dan membuang para keturunan Sultan Palembang ke tempat-tempat yang jauh, seperti Tondano, Menado, Ternate, Amboina, Amahai, Bandaneira, Saparua, Kupang, Rotti, dan lain-lain.
“Daftar nama-nama keturunan Sultan Palembang yang dibuang tersebut tercatat lengkap dalam naskah atau manuskrip Palembang,” kata dia dalam keterangannya kepada Republika.co.id, di Jakarta, Selasa (20/8).
Direktur Islam Nusantara Center, Ahmad Ginanjar Sya’ban, menegaskan dokumen dari Kesultanan Palembang tersebut sangat penting. Setelah perang besar dan berdarah-darah sepanjang 1818-1821, Kesultanan Palembang akhirnya dikalahkan Belanda.
“Perang terjadi tiga kali. Dua kali dimenangkan pihak Palembang dan satu kali yang terakhir dimenangkan Belanda,” kata dia.
Dia menjelaskan, perang dipimpin langsung Sultan Besar Palembang Mahmud Badaruddin II. Sementara laskar pasukan intinyanya berasal dari para ulama dan santri Palembang, para penganut Tarekat Sammaniyyah, murid-murid Syekh Abdul Shamad Palembang.
Ginanjar menjelaskan, Syekh Abdul Shamad Palembang mengarang sebuah kitab dalam bahasa Arab untuk mengobarkan semangat juang rakyat Palembang, berjudul "Nashihah al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mu'minin fi Fadhl al-Jihad wa al-Mujahidin".
Menurut Ginanjar, Sultan Besar Palembang, Mahmud Badaruddin II beserta keturunan dan kerabatnya, juga para ulama istana, ditangkap Belanda dan diasingkan ke Ternate. Lingkungan keraton diberangus, masjid agung dirusak, perpustakaan, dan naskah-naskah dijarah.
Lantas siapakah jenderal Belanda yang berhasil mengalahkan Palembang dan menangkap Sultan beserta keluarganya itu?
Ginanjar mengungkapkan, sosok tersebut adalah De Kock (Hendrik Marcus de Kock), jenderal yang di tahun-tahun berikutnya, yaitu 1825-1830, menjadi pimpinan perang dari pihak Belanda saat melawan pasukan Diponegoro dalam Perang Jawa yang mahadahsyat.
“De Kock jugalah yang menangkap Sultan Abdul Hamid (Pangeran Diponegoro) beserta keluarga, kiai-kiai Jawa dan sejumlah pengikutnya, lalu membuang mereka ke Manado juga ke Makassar,” tutur dia.