REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sir Thomas Stamford Raffles merupakan seorang negarawan Inggris. Selain mendirikan Singapura modern, ia juga dikenang sebagai gubernur jenderal Hindia Timur. Ambisinya adalah menyingkirkan Belanda sehingga Britania Raya dapat menguasai Asia tenggara, khususnya Indonesia.
Untuk mewujudkan keinginannya itu, Raffles menyasar Jawa sebagai pusat kekuatan kolonial Belanda. Sebelumnya, ia berusaha melakukan pendekatan kepada para penguasa lokal. Di antaranya yang dianggap berpengaruh adalah Sultan Mahmud Badaruddin II dari Kesultanan Palembang.
Pada masa sang raja Muslim, Palembang mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Ekspor Palembang ke Cina, misalnya, mencapai 20 ribu pikul lada dan 27 ribu pikul timah. (Satu pikul setara dengan 61,76 kilogram.) Jumlah itu terbilang besar bila dibandingkan dengan lima ribu pikul lada dan timah ketika Kongsi Dagang Belanda, VOC, masih menggurita di Sumatra.
Pada awal abad ke-19 M, Belanda terimbas ekspansi Prancis di Eropa dalam kurun tahun 1808-1811. Di Nusantara, Herman Willem Daendels yang menjabat gubernur jenderal banyak melakukan perubahan kebijakan, termasuk yang berkaitan dengan Kesultanan Palembang.
Sistem pembayaran kontan diubahnya menjadi mekanisme utang atau barter dengan beras. Harga timah, salah satu komoditas ekspor andalan Palembang, pun terancam turun.
Situasi yang kurang menguntungkan ini berubah sejak masuknya Inggris pada 1811 ke Nusantara. Menurut Farida dalam artikel "Konflik Politik di Kesultanan Palembang (1804-1821)", Inggris memandang penting Palembang sebagai bandar yang strategis di sekitar Selat Malaka.
Raffles berkomitmen membantu Sultan Machmud Badaruddin II untuk menyingkirkan Belanda dari Palembang. Sementara itu, sang raja Muslim tidak mempercayai Britania Raya.
Pada 1811, Inggris berhasil menguasai Batavia (Jakarta) pada 1811. Keadaan ini membuat Badaruddin II percaya diri untuk lepas dari pengaruh Inggris.
Pendirian pos Inggris di Palembang pun ditolaknya. Tidak terima dengan keputusan sang sultan, Raffles mempersiapkan armada tempur di bawah komando Robert Rollo Gillespie pada 1812.
Tidak cukup dengan kekuatan fisik, Inggris juga berupaya melemahkan internal Istana Palembang. Raflfles mafhum, hubungan Sultan Badaruddin II dengan adiknya, Pangeran Dipati, tidak begitu baik.
Saat Inggris menyerang benteng-benteng Palembang di sekitar Sungai Musi, Pangeran Dipati tidak memberikan perlawanan yang berarti. Akibatnya, pasukan Sultan Badaruddin II terpaksa mundur ke daerah pedalaman.
Inggris kemudian mengangkat Pangeran Dipati sebagai raja Palembang dengan gelar Sultan Ahmad Najamuddin II. Sebagai imbalannya, Najamuddin II memberikan Bangka dan Belitung kepada Inggris.
Sultan Badaruddin II tidak menyerah. Dia memimpin pasukan untuk memblokade jalur transportasi yang menghubungkan daerah pedalaman dengan bandar Sungai Musi. Tindakan ini merugikan Najamuddin II dan Inggris.
Pada Agustus 1812, pertempuran dimulai. Inggris dan sekutu lokalnya itu tampil dominan walau kaptennya yang bernama Meares tewas di Muntok. Markas pasukan Badaruddin II lalu berpindah ke Muara Rawas. Di sanalah, sang sultan menggalang dukungan rakyat dan kalangan bangsawan yang tidak menyukai kepemimpinan Najamuddin II.
Pengganti Meares, William Robison, menggunakan pendekatan yang lebih lunak. Pada Juni 1813, mayor Inggris ini berupaya mengembalikan takhta Palembang kepada Badaruddin II. Najamuddin terpaksa menerimanya. Akan tetapi, Raffles mengecam tindakan Robison ini dan bahkan memecatnya.
Sultan Badaruddin II didesaknya agar pindah ke istana lama di Kuta Lamo. Walau pun demikian, rakyat dan sebagian bangsawan masih mengakui dirinya sebagai pemimpin Palembang.
Apalagi, kendali atas harta pusaka dan penarikan pajak pun masih dipegang sosok yang bernama asli Raden Hasan Pangeran Ratu tersebut. Najamuddin II tidak lebih dari pemimpin boneka Inggris.