REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementan dan FAO berupaya memetakan epidemologi dan surveilans untuk menjaga kesehatan hewan dan masyarakat setempat. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkuat kapasitasnya dalam mencegah, mendeteksi, dan mengendalikan penyakit hewan.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), I Ketut Diarmita pada saat menerima tim ahli dari Badan Pangan dan Pertanian (FAO) Pusat dan juga FAO Regional Asia Pacific dalam rangka pemetaan dan evaluasi kapasitas kesehatan hewan Indonesia, khususnya untuk bidang epidemiologi dan surveilans penyakit hewan, di Jakarta, 22 Agustus 2019.
Menurutnya, saat ini Indonesia menghadapi ancaman masuknya penyakit African Swine Fever (ASF) yang sudah mewabah di China, Viet Nam, Kamboja, Laos, dan Myanmar. Informasi terakhir, diduga ASF ini juga terjadi di Philippina, sehingga semua pihak harus waspada dan bersiap menghadapi ancaman ini.
Dirjen juga mengingatkan bahwa ancaman ASF ini bukan menjadi masalah di jajaran Ditjen PKH saja, namun harus menjadi perhatian juga bagi para pemangku kepentingan lain seperti Karantina Hewan. Untuk itu diperlukan kerjasama yang semakin erat antara Ditjen PKH, Badan Karantina Pertanian, dan instansi terkait lain dalam hal pencegahan PIB khususnya ASF dengan menyepakati SOP dan teknis berbagi informasi dan pelaporan.
Terkait ancaman ASF ini, Ketut berpesan agar pengawasan di pintu-pintu pemasukan diperkuat, khususnya di wilayah-wilayah daerah pariwisata dengan penerbangan internasional langsung seperti Bali dan Manado yang juga memiliki populasi babi yang banyak, peningkatan surveilans terpadu berbasis risiko dan kemampuan untuk deteksi kasus, perbaikan biosekuriti peternakan, serta bagi masyarakat agar segera melaporkan kepada pemerintah apabila ada perubahan pola/peningkatan kematian babi pada wilayah/peternakannya.
Saat ini selain ancaman PIB seperti ASF, Penyakit rabies, avian influenza, brucellosis, anthraks, juga harus diwaspadai. Kegiatan surveilans terpadu, penguatan biosekuriti, dan pengawasan lalu lintas mutlak diperlukan dalam upaya mencegah, mendeteksi, dan mengendalikan penyakit-penyakit tersebut.
"Diperlukan kewaspadaan bersama lintas instansi/kementerian/lembaga terkait ancaman-ancaman penyakit ini. Upaya peningkatan kapasitas yang sudah dilakukan diharapkan mampu mengurangi risiko dampak negatif kasus," jelasnya.
Sementara itu, Tim Leader FAO Emergency Center for Transboundary Animal Disease (ECTAD) Indonesia, James McGrane menyampaikan bahwa FAO ECTAD selalu mendukung upaya Kementan dalam mengembangkan kapasitas untuk mencegah, mendeteksi dan mengendalikan zoonosis dan PIB ini melalui berbagai program kerjasama dari tahun 2006. Menurutnya sudah banyak kemajuan dan peningkatan kapasitas-kapasitas tersebut, serta melihat adanya kesempatan yang baik untuk memetakan dan mengevaluasi kemajuan kapasitas epidemologi dan surveilans yang telah ada di Indonesia.
Kachen Wongsathapornchai, salah satu anggota tim ahli dari FAO menjelaskan bahwa evaluasi akan dilakukan oleh tim gabungan FAO dan Ditjen PKH, Kementan untuk memberikan rekomendasi dan panduan yang dapat digunakan untuk memperkuat kapasitas negara dalam mencegah, mendeteksi, dan mengendalikan zoonosis dan PIB. Kachen juga mengungkapkan bahwa untuk evaluasi kapasitas ini, tim menggunakan Alat Pemetaan Epidemiologi (EMT) dan Alat Evaluasi Surveilans (SET) sebagai perangkat yang dapat memberikan evaluasi secara mendalam terhadap kapasitas epidemiologi dan kapasitas surveilans penyakit hewan di Indonesia.
Melanjutkan penjelasan Kachen, James mengatakan implementasi EMT-SET secara serentak ini merupakan sebuah prestasi baru bagi Indonesia. “Indonesia adalah negara pertama di Asia yang siap untuk melakukan penilaian kapasitas surveilans, dan juga termasuk negara pertama di dunia yang melaksanakan penilaian kapasitas epidemiologi dan surveilans secara serentak. Sesuatu yang baru untuk Indonesia!” jelas James.