REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) menerima Tim Analisa Risiko Impor atau Import Risk Analysis (IRA) dari Timor Leste di Jakarta, Senen (26/08). Tim ini akan melakukan analisis risiko impor untuk Day Old Duck (DOD) Final Stock Itik Gunsi dan pakan ternak yang akan dilaksanakan mulai tanggal 26 sampai dengan 28 Agustus 2019.
"Kali ini Timor Leste akan mengimpor DOD Final Stock Itik Gunsi - Peking Khaki Champbell (PKC) dari PT. Putra Perkasa Genetika, Bogor dan komoditas pakan unggas dari PT. Sinar Indo Chem, Sidoarjo," ungkap I Ketut Diarmita, Dirjen PKH saat menerima Tim IRA bersama jajaran Ditjen PKH.
Dalam kesempatan tersebut, Ketut menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Timor Leste bahwa kerjasama teknis antar kedua Negara telah diwujudkan dengan bentuk kerjasama perdagangan/ekonomi yang saling menguntungkan bagi kedua pihak. Menurutnya salah satu contoh adalah perdagangan yang sudah berjalan selama 2 (dua) tahun ini, dan dipandang cukup progresif yaitu dengan adanya perdagangan komoditas unggas dan produk unggas seperti pakan, DOC, dan produk olahan unggas dari Indonesia ke Timor-Leste. "Hal ini tentunya untuk membantu pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat di Timor Leste," tambah Ketut.
Untuk menjaga keberlanjutan ekspor ke Timor Leste, Ketut menjelaskan bahwa Kementan secara rutin melakukan harmonisasi peraturan dan persyaratan teknis kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner dengan Otoritas Veteriner Timor Leste. Salah satu contoh adalah terkait Kompartemen Bebas penyakit Avian Influenza (AI) sebagaimana direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE), khususnya Pasal 10.4.8 dan 10.4.19 Terrestrial Animal Health Code – OIE.
"Pengaturan teknis terkait hal itu telah dilaksanakan sesuai Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 28 / 2008 tentang Zonasi dan Kompartementalisasi, dan Peraturan Menteri Pertanian RI No. 381/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan," Menurut Ketut sekaligus menjelaskan bahwa sejauh ini, kompartemen bebas AI yang telah disertifikasi sebanyak 177 unit di 10 provinsi, yaitu: Jawa Barat (75), Lampung (14), Jawa Timur (32), Banten (14), Jawa Tengah (6), Bali (13), NTT (6), DI Yogyakarta (4), dan Kalimantan Barat (5), dan Sulawesi Selatan (8).
Pemerintah menerapkan kompartementalisasi sesuai peraturan OIE sehingga setiap produk unggas dan unggas dari peternakan yang memiliki Sertifikat Kompartemen Bebas AI adalah komoditas sehat yang terjamin, aman dari virus AI.
Sementara itu, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Timor-Leste, Domingos Gusmao menyampaikan bahwa hasil IRA pada komoditas Itik kali ini, merupakan representasi untuk IRA komoditas unggas lainnya, sehingga kedepan IRA diperlukan jika hanya ada kasus saja. "Selanjutnya untuk ekspor komoditas unggas nantinya hanya berupa rekomendasi saja seperti halnya komoditas Sapi, Kambing dan Babi," tambahnya.
Pada kesempatan itu, Domingos juga menyampaikan adanya keinginan Timor Leste untuk melakukan importasi Kambing Etawa dan PE serta bibit babi dari Kupang dengan jumlah yang cukup besar.
Potensi Ekspor Itik dan Pakan Ternak
Ketut memaparkan bahwa perkembangan budidaya itik di Indonesia mengalami peningkatan, berdasarkan data statistik peternakan tahun 2018, populasi itik tahun 2018 sebanyak 51.239.185 ekor, dan tercatat populasi dari tahun 2014 sampai dengan 2018 meningkat sebesar 13,19% dan rata-rata pertumbuhan sebesar 3.16% per tahun. Populasi terbanyak pengembangan itik berada di provinsi Jawa Barat sebesar 10.525.944 ekor, Sulawesi Selatan sebesar 6.269.472 ekor, Jawa Timur sebesar 5.696.190 ekor, Jawa Tengah 5.210.950 ekor dan Kalimantan Selatan 4.230.132 ekor.
Menurut Ketut, saat ini Indonesia memiliki surplus yang cukup besar. Berdasarkan data tahun 2017, kebutuhan nasional adalah sebesar 265 ton, sedangkan produksi daging itik tahun 2018 adalah sebesar 38,04 ribu ton, sehingga masih terbuka luas kesempatan untuk diekspor ke luar negeri.
“Itik pedaging merupakan salah satu komoditi yang akan terus dikembangkan di Indonesia karena makin hari konsumen daging itik makin meningkat yang mampu mengangkat ekonomi masyarakat peternak” terang Ketut.
Terkait pakan ternak, Ketut menjelaskan bahwa pakan ternak sebagai salah satu produk unggulan yang juga telah dapat memenuhi kebutuhan Timor Leste melalui serangkaian proses dengan pengawasan yang ketat. Semua produsen yang akan memproduksi pakan telah diaudit untuk mendapatkan Sertifikat Cara Pembuatan Pakan yang Baik (CPPB) sesuai dengan Kepmentan No. 240 Tahun 2003 sehingga pakan yang dihasilkan memiliki standar kualitas yang baik.
Ketut juga memaparkan bahwa jumlah pabrik pakan skala besar di Indonesia saat ini sebanyak 85 pabrik, dan tersebar pada 11 provinsi dengan produksi pakan tahun 2018 sebesar 19,4 juta ton. Adapun rencana produksi pakan tahun 2019 sebesar 20,5 Juta ton atau meningkat sebesar 6% dari tahun 2018.
Hingga saat ini jumlah pabrik pakan yang telah mendapatkan sertifikat CPPB dari Kementerian Pertanian sebanyak 57 pabrik pakan dan tiap tahun terus dilakukan audit CPPB terhadap pabrik pakan yang baru maupun yang melakukan perpanjangan sertifikat CPPB. Bahkan sebelum diperdagangkan, pakan yang telah diproduksi harus memiliki Nomor Pendaftaran Pakan (NPP) sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 22 tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan.
“Pakan yang diproduksi harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan tidak mengandung bahan yang berbahaya bagi hewan, manusia dan lingkungan. Jika bahan pakan komponen penyusun pakan berasal dari luar negara Indonesia juga harus sesuai dengan Permentan No. 57 Tahun 2015 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal Tumbuhan” terang Ketut.
Ketut menambahkan peningkatan jaminan Keamanan Pakan bagi ternak dan manusia yang akan mengkonsumsi produk ternak, sejak Januari 2018 Pemerintah Indonesia melarang penggunaan Antibiotik Growth Promoters (AGP) sesuai Permentan No. 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan.