REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pakar pembangunan wilayah Universitas Gadjah Mada (UGM) Rijanta menilai, ibu kota baru tidak akan menggantikan seluruh fungsi Jakarta. Ia mengatakan, ibu kota baru akan mengemban fungsi utama di bidang pemerintahan.
"Ini berbagi fungsi, jadi fungsi pemerintahan yang pindah ke satu titik lain di Indonesia, fungsi yang lain, fungsi ekonomi, fungsi komersial, ya tetap di Jakarta," kata Rijanta di Kampus UGM, Rabu (28/8).
Rijanta merasa, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur itu tidak akan membangkrutkan Jakarta. Jakarta dinilai akan tetap hidup dan menghidupi daerah-daerah yang ada di sekitarnya.
Bahkan, Rijanta berpendapat, urgensi pemindahan ibu kota tidak cuma didasarkan kemacetan atau kepadatan penduduk. Namun, lebih ke fungsi kota yang sudah saling menumpuk.
Ia mengatakan kondisi itu telah menimbulkan kompleksitas. Selain itu, ia menilai, pemindahan ibu kota memiliki tujuan lain, yaitu mewujudkan keseimbangan spasial dalam pembangunan di Indonesia.
"Jakarta itu rumit, macet, karena Jakarta merupakan tumpukan fungsi pelayanan yang sifatnya bercampur, padahal Jakarta mengemban fungsi kota yang banyak sekali," ujar Rijanta.
Ia melihat, pembagian fungsi kota ke ibu kota yang baru menjadi hal yang baik bagi DKI Jakarta. Selain itu, ia menilai, baik bagi daerah-daerah lain yang jadi bagian pengembangan ibu kota baru.
Bagi Rijanta, keputusan memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa tepat untuk rencana pembangunan jangka panjang. Terutama, untuk mengoreksi masalah kesenjangan yang semakin parah.
"Kalau orang punya wawasan jangka panjang akan setuju dengan gagasan itu, tapi kalau berpikir jangka pendek pasti tidak akan sejauh itu memikirkan masalah yang sangat besar yang namanya kesenjangan," kata Rijanta.
Ia turut merasa pemilihan Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru sudah tepat. Dibanding kota-kota lain yang sempat muncul dalam wacana, Kaltim disebut paling siap untuk dikembangkan.
Mulai infrastruktur, sudah adanya bandara, dekat dengan Alur Laut Kepulauan indonesia dan dari segi angkutan laut cukup strategis. Heterogenitas masyarakat dirasa cukup tinggi menerima perubahan.
"Kota yang sudah familiar dengan mengelola perbedaan bisa menjadi kota yang lebih besar tanpa harus ada banyak masalah dalam prosesnya," ujar Rijanta.
Kendati demikian, pemindahan diperkirakan akan memindahkan pula ratusan ribu ASN-ASN dan keluarganya. Ini tentu saja memberikan tantangan tidak cuma segi konstruksi atau kesiapan infrastruktur.
Namun, penyediaan layanan pendukung seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Ia menyoroti salah satu tantangan krusial yang kemungkinan besar ada yaitu soal pemenuhan kebutuhan pangan.
"Satu juta orang kalau nanti berpindah ke sana, kesiapan yang ada di sana bukan hanya persoalan pusat ibu kotanya, tapi pelayanan pendukung untuk kehidupan orang-orang itu sendiri," kata Rijanta.
Terlebih, Kalimantan masih mendatangkan bahan pangan dari Jawa Timur. Ia mengingatkan, dalam perspektif modern, makanan sebaiknya datang dari tempat yang tidak jauh dari tempat tinggal penduduk.
Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan pengembangan wilayah-wilayah pendukung untuk menyediakan kebutuhan itu. Baik lewat penguatan kapasitas pengelolaan sumber daya atau transmigrasi.
Pemerintah, lanjut Rijanta, perlu mengantisipasi perkembangan sektor-sektor ekonomi, pariwisata, hiburan dan lain-lain. Sebab, pasti akan muncul seiring pembangunan pusat pemerintahan.
Untuk itu, pemerintah harus memiliki rancangan serta aturan tata ruang yang jelas dan tegas. Jangan sampai dalam jangka panjang terjadi kesemerawutan baru yang mengulang masalah di ibu kota lama.
Harus dipikirkan fungsi-fungsi di luar pemerintahan nanti dan itu harus ditegakkan secara ketat. Ia merasa, target pemindahan 2024 cukup masuk akal asal siap penyesuaian peraturan perundang-undangan.
"Kalau konstruksinya saya rasa tiga sampai empat tahun cukup. Yang penting legalitasnya dikejar supaya beres dulu," ujar Rijanta.