REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur melakukan kajian (bahtsul masail) dalam rangka menyikapi vonis hukuman kebiri bagi pelaku pedofilia di Mojokerto, Jatim.
Bahtsul masail tersebut menyimpulkan, PWNU Jatim tidak setuju dengan hukuman kebiri. Karena selain tidak sesuai dengan hukum Islam, hukuman kebiri juga melanggar hak asasi manusia.
"PWNU tidak setuju adanya hukuman kebiri. Mudharatnya disamping tadi kontra dengan hukum Islam, adalah hukum itu harus melindungi hak-hak asasi daripada umat manusia. Dalam ini ada lima, salah satunya hak untuk berketurunan," kata Ketua Lembaga Bahtsul Masail PWNU Jatim, Ahmad Asyhar Shofwan, di Kantor PWNU Jatim, Surabaya, Kamis (29/8).
Asyhar menjelaskan, hukum pidana kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak dapat dikategorikan sebagai takzir. Yaitu hukuman yang belum ditetapkan syariat, dan diserahkan kepada hakim.
Namun demikian, kata dia, tidak diperbolehkan sebab takzir harus berdasarkan kemaslahatan. Mayoritas ulama mensyaratkan takzir tidak berdampak negatif, sementara kebiri kimia tidak hanya merusak organ reproduksi tapi dapat merusak organ yang lain. “Serta berdampak negatif pada kondisi psikologis pelaku," ujar Ashyar.
Ashyar menyatakan, pelaku pedofilia memang harus dihukum seberat-beratnya. Bahkan, kata dia, kalau perlu dihukum mati supaya menimbulkan efek jera.
Namun demikian, PWNU Jatim tidak setuju jika hukum yang diterapkan adalah hukum kebiri kimia. Karena menurutnya, kesan hukum kebiri kimia adalah balas dendam.
"Yang jelas harus dihukum berat. Tadi misalnya hukuman mati, karena dengan mati itu otomatis pelaku akan jera karena langsung mati. Kebiri itu menyiksa. Karena ini semangatnya seakan-akan pembalasan. “Bukan untuk rehabilitasi dan berlaku baik," kata Ashyar.
Sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto memvonis Muhammad Aris (20) dengan hukuman kebiri, karena terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sembilan anak.
Pro kontra pun mengemuka. Para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) menganggapnya sebagai suatu pelanggaran.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menolak menjadi eksekutor karena bertentangan dengan sumpah dan kode etik profesi. Sementara di sisi lain banyak yang mendukung mengingat semakin meningkatnya kejahatan seksual terhadap anak.
Dadang Kurnia