Beberapa waktu belakangan ini masyarakat Indonesia dipusingkan dengan berita kenaikan berbagai tarif. Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan akan dinaikkan.
Tarif dasar listrik (TDL) juga akan disesuaikan menyusul rencana dicabutnya subsidi listrik pelanggan 900 VA. Hal ini disepakati pemerintah dalam rapat panitia kerja Badan Anggara DPR RI. Bahkan dalam rapat tersebut tercium indikasi akan kenaikan harga bahan bakar minyak dan gas tahun depan. Tak hanya itu, Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) juga akan menaikkan tarif tol di sejumlah ruas.
Menjelang akhir kepemimpinan periode pertamanya, Presiden Jokowi menerapkan kebijakan-kebijakan tersebut guna mengatasi defisit negara yang kian membengkak. Akibat kebijakannya ini, tidak sedikit pihak yang mengkritik kepemimpinan mantan Wali Kota Solo tersebut.
Keputusan telat
Kepada DW Indonesia, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menjelaskan kebijakan pemerintah yang diambil saat ini berdasarkan kondisi perekonomian Indonesia yang terus melemah. "Dasar pertama karena pemerintah khawatir bahwa penerimaan pajak tahun depan akan terjadi shortfall yang cukup besar atau tidak mencapai target cukup besar. Kedua pelebaran defisit ekonomi yang terus memburuk, pelebaran defisit 2020 akan bengkak,” ujar Bhima.
Menurut Bhima reformasi anggaran yang dilakukan pemerintah saat ini terbilang terlambat untuk dilakukan. Ia menilai pemerintah seharusnya jauh-jauh hari sudah melakukan langkah-langkah efisiensi.
“Tapi kondisi ekonominya sudah berbeda. Kalau sekarang trennya terus melemah melambat, momennya sudah lewat, keberanian yang terlambat. Karena keberanian melakukan efisiensi anggaran kalau dilakukan sekarang bukan berani tapi itu sebuah kesalahan fatal,” tegas Bhima.
Ia meyakini kebijakan ini akan memberikan dampak besar kepada geliat perekonomian Indonesia ke depan. “Ini pasti akan menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan pada 2020. Growth-nya (perekonomian) malah bisa melambat di bawah 4,9 persen. Justru memukul dunia usaha, memukul masyarakat menengah ke bawah, inflasi, perlambatan konsumsi, retail, manufaktur,” jelasnya saat dihubungi DW Indonesia, Kamis (05/09) siang.
Menurutnya dengan menerapkan kebijakan stimulus fiskal, mempertahankan subsidi, dan menjaga daya beli masyarakat diharapkan menjadi alternatif bagi pemerintahan Jokowi dalam melakukan efisiensi anggaran.
Iuran BPJS naik dua kali lipat
Mulai 1 Januari 2020, iuran BPJS dipastikan akan naik 100 persen. Kenaikan ini guna menutup defisit anggaran negara yang diproyeksikan bisa menyentuh angka Rp 77,9 triliun di tahun 2024. Menteri Koordinator Bidang PMK, Puan Maharani, menyampaikan saat ini kementerian-kementerian terkait tengah merancang perpres tentang kenaikan iuran BPJS. Ia memastikan perpres tersebut akan diterbitkan sebelum pelantikan Jokowi–Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024 pada Oktober nanti.
Wakil Menteri Keuangan RI, Mardiasmo, memastikan iuran BPJS akan naik 100% bagi golongan I dan golongan II. Hal ini ia sampaikan setelah menghadiri rapat kerja dengan DPR RI, Senin (02/09) lalu.
"Yang kelas I dan kelas II, 1 Januari 2020 jadi Rp 160.000 dan Rp 110.000, sehingga kita bisa sosialisasi untuk masyarakat," kata Mardiasmo.
Berdasarkan tarif iuran, pengguna BPJS dibagi atas tiga golongan, yang membedakan antar golongan yaitu iuran bulanan, kelas kamar rawat inap yang didapat,dan tarif klaim rumah sakit terhadap pemerintah. Seperti yang diketahui tarif iuran BPJS golongan I sebelum mengalami kenaikan adalah Rp 80.000 per bulan, dan untuk golongan II adalah sebesar Rp 51.000. Sementara golongan III adalah sebesar Rp 25.000 per bulan.
Untuk golongan III, pemerintah tidak akan menaikkan tarif iuran yang sebelumnya diusulkan naik menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal tersebut ditolak DPR karena pendataan peserta BPJS yang dinilai berantakan.
Sekretaris Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno menilai defisit BPJS ini dikarenakan para pengguna BPJS yang tidak tepat sasaran. “Jadi kalau ada pembagian layanan orang kaya akan cari yang murah, kalau dia besok masuk rumah sakit dia bisa naik kelas tinggal nambah bayar sedikit, ini tidak adil tidak bisa seperti ini. Yang mandiri bisa masuk golongan 2 atau 3, yang pekerja tetap bisa masuk kelas 1 tapi dalam layanan sama, ini akan membuat orang tidak milih-milih,” terang Agus saat diwawancara DW Indonesia.
Penyesuaian tarif dasar listrik dan jalan tol
Selain kenaikan iuran BPJS, ‘kejutan’ lainnya yang dihadirkan pemerintah yaitu pengahapusan subsidi bagi pelanggan listrik 900 VA (Volt Amper) rumah tangga mampu (RTM) mulai Januari tahun depan. Nantinya pelanggan akan membayar tarif dasar listrik (TDL) berdasarkan jumlah pemakaian tanpa dibantu subsidi pemerintah. Hal ini berdasarkan keputusan rapat panitia kerja Badan Anggaran DPR RI yang menetapkan anggaran subsidi energi di tahun 2020 turun menjadi Rp 124,873 triliun.
"Kemarin keputusan di Senayan (banggar), sudah deh semua 900 dicabut. Begitu semua pelanggan 900 baik yang mampu tidak mampu, kalau dia pelanggan 900, dicabut (subsidinya) sudah. (Asumsi) 900 pasti mampu lah," terang Direktur Pengadaan Strategis II PT PLN (Persero), Djoko Abumanan, di Jakarta, Rabu (04/09).
Selama ini pemerintah memberikan subsidi kepada 24,4 juta pelanggan listrik 900 VA, dimana pelanggan 900 VA yang masuk kategori miskin hanya 7,17 juta rumah tangga dan sisanya masuk ke golongan rumah tangga mampu. Dari pencabutan ini diprediksi menghemat anggaran negara sebesar Rp 6,96 triliun.
Setali tiga uang dengan BPJS dan listrik, tarif jalan tol yang juga akan mengalami kenaikan. Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) menyebutkan ada 18 ruas jalan tol yang akan mengalami penyesuaian tarif, antara lain ruas tol Jagorawi, ruas tol Jakarta-Tangerang, ruas tol Tangerang-Merak, ruas tol Jombang Mojokerto, ruas tol Semarang-Solo, dan ruas tol Cikopo-Palimanan.
rap/vlz (dari berbagai sumber)