REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Dian Fath Risalah, Haura Hafizhah
JAKARTA -- Kain hitam terbentang menyelimuti Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Ahad (8/9) pagi. Penutupan kantor KPK dengan kain hitam ini sebagai lambang kesuraman dan duka karena KPK akan berakhir.
Mengenakan pakaian serbahitam, para pegawai KPK menutup logo serta tulisan KPK, baik yang berada di atas gedung, halaman depan, serta pelataran gedung KPK. Turut serta dalam aksi simbolis, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
Persiapan membentangkan kain hitam ini sudah dipersiapkan sejak Sabtu (7/9) kemarin. Para pegawai KPK bahkan rela menghabiskan malamnya di Gedung KPK untuk menjahit dan menyambung kain hitam tersebut.
Sebelum aksi simbolis menyelimuti Gedung Merah Putih KPK, sebanyak 500 pegawai KPK juga membagikan bunga dan leaflet permintaan tolong di Bundaran HI Jakarta saat car free day (CFD). Setelah itu, mereka pun long march atau berjalan kaki dari Bundaran HI menuju Gedung Merah Putih KPK.
Selama melakukan long march, para pegawai KPK juga membawa dan mengangkat poster bertuliskan "TOLONG", "JOKOWI SETUJU RUU KPK=KPK MATI #SAVEKPK". Sesekali, mereka juga membagikan bunga dan leaflet kepada masyarakat yang melihat aksi mereka.
Perwakilan pegawai KPK, Christie mengungkapkan, pegawai KPK berinisiatif untuk meminta bantuan dari siapa pun dan di mana pun tanpa memandang latar belakang selama mempunyai visi dan kebencian atas korupsi yang merajalela. Permintaan tolong kepada masyarakat karena hingga hari ini Presiden belum bertindak untuk secara tegas menolak capim yang diduga melanggar etik dan menolak revisi UU KPK yang membuat KPK tutup.
"Serangan KPK secara sistematis menyempurnakan serangan dari dalam dan luar, sehingga paripurnalah membuat KPK mati karena tidak berfungsi," tutur Christie dalam keterangannya. Harapannya, lanjut dia, Presiden Joko Widodo dapat melakukan fungsinya sebagai kepala negara untuk mencegah KPK mati dengan meloloskan calon pimpinan terduga pelanggar etik dan meloloskan revisi UU KPK.
Wadah Pegawai di Komisi Pemberantasan Korupsi (WP-KPK) menganggap revisi UU KPK sebagai langkah pelemahan institusi pengusutan para koruptor tersebut. WP-KPK mengharapkan, amandemen usulan DPR itu mendapat penolakan yang tegas dari Presiden Jokowi.
“Karena akan sangat mahal harga yang harus dibayar jika KPK dalam pelemahan,” kata Ketua WP-KPK Yudi Purnomo Haraharap dalam pernyataan tertulisnya, Ahad (8/9). Yudi mencurigai, revisi UU KPK tersebut mengandung niatan tak baik untuk menggembosi sejumlah kewenangan dan tugas penegakan hukum terhadap perkara-perkara korupsi yang terjadi di Tanah Air.
Kepala Bagian Perancangan Peraturan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang mengatakan, pihak-pihak tertentu tengah merancang upaya pelemahan KPK secara sistematis. Ia mengingatkan, kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan hingga kini belum ada penyelesaian.
Tidak ada gerakan untuk mencari tahu siapa pelakunya. Lalu, calon pimpinan KPK yang menurutnya tidak diterima oleh masyarakat karena memiliki rekam jejak yang tidak sesuai dengan tugas pemimpin KPK.
“Lalu, sekarang tentang revisi UU KPK, jelas merugikan KPK. Ada sejumlah poin kritikal dalam revisi undang-undang tersebut yang bisa melumpuhkan kinerja lembaga antirasuah itu,” kata dia. Rasamala melanjutkan salah satu upaya melumpuhkan itu dengan pembentukan Dewan Pengawas yang bertugas mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK secara berkala satu kali dalam setahun.
Lalu, KPK perlu meminta izin untuk melakukan penyadapan, penggeledahan, atau penyitaan kepada Dewan Pengawas. Selama ini, hal tersebut dapat dilakukan tanpa melalui proses perizinan. Selain itu, adanya keharusan merekrut anggota penyelidik dari kepolisian yang selama ini dari tim independen.
Selanjutnya, aturan yang mengharuskan KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan perkara dan kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk perkara yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun.
“Kalau nanti UU KPK ini disahkan. Saya pikir, KPK tidak akan berproses atau bertindak seperti sekarang. Tidak ada kewenangan yang bisa mendorong penegakan hukum perkara korupsi seprogresif hari ini," ujar dia.
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan aksi Seribu Bunga SaveKPK saat gelaran Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) di Kawasan Bundaran HI, Jakarta, Ahad (8/9/2019).
Sebelumnya, Istana Kepresidenan meminta masyarakat tidak khawatir terhadap rencana revisi UU KPK yang diusulkan DPR. Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim menyebutkan, bila pun dilanjutkan, maka pembahasan revisi UU KPK masih panjang. Alasannya, pembahasan masih membutuhkan persetujuan eksekutif, dalam hal ini Presiden Joko Widodo.
"Kalau mengerti proses pembahasan UU di DPR, harusnya kekhawatiran itu tidak diperlukan. Karena pemerintah sendiri belum merespons, belum memberi pandangan umum. Jadi, inisiatif DPR butuh tanggapan pemerintah, kalau setuju baru dibuat panja pansus," kata Ifdhal, Jumat (6/9).
Ifdhal menyebutkan bahwa inisiatif revisi UU KPK oleh DPR ini sebetulnya sudah dimulai sejak keanggotaan legislatif pada periode sebelumnya. Ia menduga, di masa akhir persidangan ini DPR ingin mengangkat isu ini agar segera ada keputusan dari pemerintah terkait pembahasan revisi UU KPK.
"Bukan berarti harus diketok. Karena itu harus ada pendapat pemerintah juga terhadap RUU inisiatif DPR. Kemudian kan belum pernah juga dibahas daftar inventaris masalahnya apa. Jadi masih jauh itu," kata dia. n bambang noroyono ed: fitriyan zamzami