REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan Iran mulai menginstalasi mesin sentrifugal termutakhir untuk melanjutkan aktivitas pengayaan uraniumnya. Hal itu sebenarnya dilarang dalam kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Seorang juru bicara IAEA mengungkapkan Iran telah menginformasikan mereka membuat modifikasi untuk mengakomodasi kaskade atau klaster yang saling berhubungan, dari sentrifugal 164 IR2m dan IR-4. “Semua sentrifugal yang dipasang telah disiapkan untuk pengujian dengan UF6, meskipun tidak satu pun dari mereka yang diuji dengan UF6 pada 7 dan 8 September,” kata dia, merujuk pada bahan baku uranium hexafluoride untuk sentrifugal, Senin (9/9).
Ia menambahkan, Iran telah menyampaikan kepada IAEA mereka akan memodifikasi jalur sentrifugal penelitian sehingga uranium yang diperkaya diproduksi. Hal itu sebenarnya tak diizinkan di bawah JCPOA.
JCPOA juga hanya memungkinkan Iran memproduksi uranium yang diperkaya dengan lebih dari 5.000 mesin sentrifugal IR-1 generasi pertama. Artinya pemasangan mesin sentrifugal terbaru telah melanggar ketentuan kesepakatan tersebut.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengetahui tentang laporan tersebut. “Saya tahu masalah ini sedang ditangani IAEA. Saya tidak bermaksud membahas hal ini hari ini. Tapi ini tentu saja merupakan masalah penting. Biarkan saya memberitahu Anda, ini masalah yang paling penting sejauh menyangkut masa depan kita, dan saya tidak mengalah sejenak,” ujarnya.
Dalam sebuah pidatonya tahun lalu, Netanyahu menentang keras JCPOA. Dia meminta IAEA segera mengunjungi situs-situs nuklir Iran. Dia menuding Teheran telah menampung 15 kilogram bahan radioaktif yang tak ditentukan dan sejak saat itu telah dihapus.
Pada April 2018, tim peneliti IAEA dilaporkan sempat mengunjungi dan memeriksa situs nuklir Iran. Mereka mengambil sampel untuk dianalisis. Sejak saat itu, media Israel dan Amerika Serikat (AS) melaporkan pada sampel tersebut ditemukan jejak bahan atau materi radioaktif.
Namun para diplomat mengatakan jejak-jejak itu adalah uranium. Menurut seorang diplomat, uranium itu pun tidak begitu diperkaya. Artinya tidak dimurnikan ke tingkat yang mendekati kebutuhan untuk memproduksi senjata nuklir.
Pada Juli lalu, Iran mengumumkan telah melakukan pengayaan uranium melampaui ketentuan yang ditetapkan JCPOA, yakni sebesar 3,67 persen. Teheran mengklaim saat ini pengayaan uraniumnya telah mencapai lebih dari 4,5 persen.
Iran mengatakan level pengayaan itu memang masih sangat jauh dari yang dibutuhkan untuk memproduksi senjata nuklir. Namun, ia siap melanjutkan aktivitas pengayaan uraniumnya jika perekonomiannya masih dijerat sanksi AS.
AS telah hengkang dari JCPOA pada Mei 2018. Setelah keluar, Presiden AS Donald Trump memutuskan menerapkan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Mundurnya AS membuat JCPOA goyah dan terancam bubar.