Rabu 11 Sep 2019 03:03 WIB

Pakar: Pembentukan Dewan Pengawas KPK Diperlukan

Pakar menilai revisi UU KPK sudah suatu keniscayaan.

Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita.
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Pakar hukum pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana, Prof Romli Atmasasmita menyebutkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, terkait pembentukan dewan pengawas KPK memang diperlukan. Pada prinsipnya, Romli menilai revisi UU KPK itu sudah suatu keniscayaan.

"Revisi UU KPK itu harus, pembentukan pengawas harus. Namanya apa kek, mau dewan atau lainnya, tapi harus ada pengawasan yang melekat nempel di struktur, bukan di luar struktur," kata Romli, di Jakarta, Selasa (11/9).

Baca Juga

Namun, kata dia, untuk siapa yang duduk mengisi sebagai pengawas tentu dibicarakan lagi nantinya, tetapi jangan sampai orang yang duduk sebagai pengawas tugas KPK justru diawasi. "Jangan nanti pengawas itu orangnya harus diawasi. Jadi ada bahasa 'who control, the controlers'. Pertanyaannya sekarang siapa? Apa malaikat lagi atau setengah malaikat?," ujarnya.

Pada prinsipnya, Romli mengatakan revisi UU KPK itu sudah suatu keniscayaan. Ia juga menyoroti tentang penyadapan. Menurut dia, penyadapan ini perlu direvisi mengenai prosedur karena ada beberapa syarat terkait KPK bisa melakukan penyadapan.

"Siapa objeknya, siapa subjek, apa masalahnya, berapa lama disadap, kepada siapa harus bertanggungjawab. Nah, mekanisme ini tidak ada di KPK, ini blong," jelasnya.

Kemudian, kata dia, operasi tangkap tangan (OTT) juga menjadi polemik karena operasi tangkap tangan itu dimulai dari penyadapan. "Jadi, gaya KPK itu sadap dulu baru diintip orang tersebut," ucapnya.

Padahal, tambah dia, apabila KPK sudah menyadap seseorang dan tahu akan terjadi suatu peristiwa dugaan tindak pidana korupsi. Maka, harusnya KPK langsung menghubungi pimpinannya agar bisa dicegah dan berhenti. Namun, dirinya melihat koordinasi KPK sangat buruk sehingga menunggu sampai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana korupsi. Harusnya, kata dia, KPK dijadikan sebagai lembaga yang terhormat.

"Misal nih sadapan saya, berhentiin dong, kalau enggak saya tangkap. Nah ini enggak, koordinasi tidak ada tungguin kali aja dapat kakap. KPK tidak begitu, lembaga terhormat dibikin tidak terhormat. Kenapa tidak dikasih tahu? Harusnya pencegahannya, makanya saya bilang pencegahannya amburadul. Tidak paham," jelasnya.

Penyadapan itu sebetulnya dalam dunia criminal justice system menjadi the last tool atau alat terakhir di semua negara, karena mafioso organize itu susah kalau tidak disadap. Namun, pejabat itu tidak perlu disadap kan bisa juga cuma dilidik.

"Biasanya penyelidikan itu turun cari peristiwa. Penyadapan itu paling enak, duduk diam terima laporan masyarakat lalu disadap. Jadi penyelidikannya di belakang meja, turun itu kalau dia gerebek. Nangkap baru turun ramai-ramai, operasional gede. Jadi apa yang dicari KPK itu? Duitnya? Kembalikan ke negara saja tidak cukup, saya kan lakukan penelitian kajian," jelasnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement