REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom dari Institue for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, hingga saat ini produk unggas ayam Indonesia belum berdaya saing. Mahalnya harga pakan dan obat-obatan unggas masih menjadi alasan yang mendasari.
Menurut dia, untuk memperbaiki daya saing produk unggas semisal ayam di Indonesia, pemerintah perlu memperbaiki kedua hal tersebut. Masalahnya, hingga saat ini pemerintah dinilai lamban dalam memperbaiki aspek tersebut.
"Dari dulu permasalahannya selalu di sini, tapi belum ada perbaikan konkret," ujar Nailul saat dihubungi Republika, Jumat (13/9).
Apalagi sebesar 40 persen lebih dari total input biaya ternak terdiri dari biaya pakan. Maka apabila harga pakannya bisa dikurangi, menurut dia, maka produk ternak dan unggas Indonesia bisa lebih kompetitif di pasar global.
Meski peternak mandiri mengeluhkan kelebihan suplai saat ini, namun produk ayam lokal minim untuk diekspor. Hal itu menurut Nailul karena kurang kompetitifnya harga ayam lokal jika dibandingkan dengan negara-negara produsen ayam lainnya, semisal Brasil.
Menurut dia, Brasil mampu menekan biaya produksi ayamnya dengan baik sehingga dapat menyuplai ke berbagai negara dengan harga yang kompetitif.
Sementara itu, Direktur Pakan dari Direktorat Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) Sri Widayati mengklaim saat ini rata-rata pertumbuhan industri pakan nasional sekitar 6-7 persen. Untuk itu pihaknya mengatakan akan terus memberikan informasi teraktual tentang Nomor Pendaftaran Pakan (NPP) dengan membangun sistem informasi pendaftaran pakan yang dapat digunakan oleh elemen terkait, termasuk pabrik pakan untuk memperlancar iklim usaha pakan.
"Pertumbuhan bisnis pakan ini membuktikan bahwa sektor pakan ternak sangat prospektif," ungkapnya.
NPP, kata dia, menjadi salah satu cara pemerintah menjamin mutu dan keamanan pakan, sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 22 Tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan.