Selasa 17 Sep 2019 13:08 WIB

Revisi UU KPK Jadi Praktik Terburuk Legislasi Pascareformasi

Rencana pelemahan KPK sudah dirancang sejak lama

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Esthi Maharani
Suasana rapat paripurna ke-9 Masa Sidang I 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/9).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Suasana rapat paripurna ke-9 Masa Sidang I 2019-2020 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif SETARA Institute, Ismail Hasani, menyebut pengesahan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada hari ini merupakan praktik terburuk legislasi dalam sejarah parlemen Indonesia pascareformasi. Pihaknya menilai semakin cepat revisi ini disahkan, maka semakin menegaskan bahwa rencana pelemahan KPK sudah dirancang sejak lama.

"Pengesahan revisi UU KPK hari ini dan revisi KUHP pada 25 September 2019 adalah praktik terburuk legislasi dalam sejarah parlemen Indonesia pascareformasi. Selain cacat formil, proses pembahasan UU KPK sama sekali tidak melibatkan stakeholders yang justru akan menjalankan UU KPK, padahal KPK adalah institusi yang paling terkena dampak dari keberlakuan UU hasil revisi ini, " ujar Ismail lewat keterangan tertulis yang diterima Republika, Selasa (17/9).

Baca Juga

Dia melanjutkan, legislasi yang baik harus memastikan pemetaan dampak bagi para pihak, sehingga kehadiran produk hukum baru itu diterima (accepted) dan berjalan efektif. Namun, praktik legislasi sebagaimana digambarkan dalam parade kilat revisi UU KPK adalah manifestasi legislative corruption, karena materi-materi muatan yang dikandung justru memperlemah KPK dan memangkas energi pemberantasan korupsi.

"Korupsi legislasi adalah kinerja legislasi yang memungkinkan dan memudahkan orang melakukan tindak pidana korupsi atau membuat lembaga-lembaga pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif bekerja memberantas korupsi," ungkap pengajar hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu. 

Lebih lanjut dia menyoroti kecepatan respons Presiden  Joko Widodo dengan mengutus perwakilan pemerintah membahas revisi UU KPK. "Kecepatan proses pembahasan RUU itu menggambarkan bahwa niat pelemahan KPK memang sudah dirancang sejak awal dan hanya menunggu momentum yang tepat dimana semua i’tikad dugaan pelemahan KPK itu dijalankan. Momentum itu ada pada kemenangan Jokowi dalam Pemilu 2019 dan di penghujung akhir masa jabatan DPR RI periode 2014-2019," kata Ismail. 

Kondisi Jokowi yang sudah dipastikan memasuki periode kedua kepemimpinannya pada 2019-2024, secara politik tidak lagi memerlukan citra publik yang konstruktif untuk memberikan efek elektoral bagi dirinya, karena Jokowi tidak bisa lagi mencalonkan sebagai presiden mendatang. Ismail menilai Jokowi benar-benar menegaskan dirinya sebagai petugas partai yang secara patuh menundukkan diri pada kehendak partai-partai politik.

Sementara itu,  momentum masa berakhirnya DPR Periode 2014-2019 telah memberikan keleluasaan pada segelintir ‘penguasa’ parlemen menjalankan hasrat pelemahan KPK yang sudah sejak awal terus diujicobakan, karena hampir separuh anggota DPR saat ini sudah tidak lagi menjalankan tugasnya secara efektif.

"Pelemahan KPK telah berjalan sempurna. Dari berbagai segi, revisi UU KPK secara keseluruhan telah mengikis sifat independensi KPK yang sangat berpengaruh pada kinerja KPK di masa mendatang," tambah Ismail.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement