REPUBLIKA.CO.ID, Yangon - Beberapa masjid yang ditutup sejak 10 tahun lalu terkait kekerasan antar agama di Magwe, Myanmar dibuka kembali pada Selasa (17/9) kemarin.
"Karena tempat ibadah sementara itu kecil dan tidak nyaman, pemerintah mengizinkan shalat di masjid-masjid yang sebelumnya ditutup," kata Ketua Menteri Wilayah Magwe, Dr. Aung Moe Nyo seperti dilansir The Irrawaddy, Kamis (19/9).
Kekerasan yang sempat pecah antara komunitas Buddhis dan Muslim tersebut, diawali karena pemerkosaan seorang wanita desa di Kota Salin. Kekerasan menyebar di Magwe dan beberapa masjid, termasuk dua di Chauk, yang kemudian dibakar oleh perusuh.
Pemerintah daerah setempat sebelumnya telah gagal untuk membuka kedua masjid tersebut. Namun demikian, jajak pendapat untuk membuka kembali dua masjid di Chauk awal tahun ini berhasil setelah meminta persetujuan dari para biksu Budha.
Aral masih melintang, beberapa warga diketahui masih mengajukan keberatan dan meminta pembukaan kembali tersebut agar ditunda.
“Muslim telah tinggal di sini sejak periode Bagan dan populasinya meningkat. Masjid adalah tempat untuk sholat. Jika bangunan keagamaan ditutup, pintu penjara akan terbuka. Jika Anda ingin menutup pintu penjara, ada kebutuhan untuk membuka bangunan keagamaan, ”kata pemimpin muslim, Hajji U Aye Lwin.
Pada Selasa, Jendral Min Aung Hlaing juga diketahui menyumbangkan uang tunai dan perbekalan ke rumah sakit Muslim, rumah Kristen untuk komunitas agama Hindu yang sudah lanjut usia, serta sebuah biara dan Rumah Sakit Sangha di Yangon.
Sumbangan tersebut merupakan sumbangan militer ketiga bagi komunitas agama non-Buddha dalam dua bulan terakhir. Hal tersebut ditujukan untuk membangun persatuan.
"Sumbangan itu ditujukan untuk membangun kohesi politik, sosial dan agama di negara ini," kata jurubicara militer, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun.
Menanggapi hal tersebut, Hajji U Aye Lwin beranggapan bahwa masih dimungkinkan ada beberapa alasan terkait sumbangan tersebut. Menurut dia, sumbangan yang dilakukan pihak militer itu berupaya mengubah pola pikir dan taktik yang digunakan meskipun hanya sedikit.
“Ini adalah langkah pertama di jalur yang benar. Ini lebih baik daripada tidak ada kunjungan [ke komunitas non-Buddha] sama sekali, dan kami harus menyambutnya dengan optimis, ”kata dia.
Pada Juli lalu, selama pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump, orang Kristen Kachin mengatakan, bahwa tidak ada kebebasan beragama di Myanmar bahkan penindasan dan penyiksaan masih umum terjadi.
Oleh karena itu mereka juga meminta AS untuk mendukung transisi Myanmar kepada sistem demokrasi "asli" dan mendukung federalisme.
Masjid di Myanmar dibuka Kembali Setelah Kerusuhan 10 Tahun Lalu
Yangon - Beberapa masjid yang ditutup sejak 10 tahun lalu terkait kekerasan antar agama di Magwe, Myanmar dibuka kembali pada Selasa (17/9) kemarin.
"Karena tempat ibadah sementara itu kecil dan tidak nyaman, pemerintah mengizinkan shalat di masjid-masjid yang sebelumnya ditutup," kata Ketua Menteri Wilayah Magwe, Dr. Aung Moe Nyo seperti dilansir The Irrawaddy, Kamis (19/9).
Kekerasan yang sempat pecah antara komunitas Buddhis dan Muslim tersebut, diawali karena pemerkosaan seorang wanita desa di Kota Salin. Kekerasan menyebar di Magwe dan beberapa masjid, termasuk dua di Chauk, yang kemudian dibakar oleh perusuh.
Pemerintah daerah setempat sebelumnya telah gagal untuk membuka kedua masjid tersebut. Namun demikian, jajak pendapat untuk membuka kembali dua masjid di Chauk awal tahun ini berhasil setelah meminta persetujuan dari para biksu Budha.
Aral masih melintang, beberapa warga diketahui masih mengajukan keberatan dan meminta pembukaan kembali tersebut agar ditunda.
“Muslim telah tinggal di sini sejak periode Bagan dan populasinya meningkat. Masjid adalah tempat untuk sholat. Jika bangunan keagamaan ditutup, pintu penjara akan terbuka. Jika Anda ingin menutup pintu penjara, ada kebutuhan untuk membuka bangunan keagamaan, ”kata pemimpin muslim, Hajji U Aye Lwin.
Pada Selasa, Jendral Min Aung Hlaing juga diketahui menyumbangkan uang tunai dan perbekalan ke rumah sakit Muslim, rumah Kristen untuk komunitas agama Hindu yang sudah lanjut usia, serta sebuah biara dan Rumah Sakit Sangha di Yangon.
Sumbangan tersebut merupakan sumbangan militer ketiga bagi komunitas agama non-Buddha dalam dua bulan terakhir. Hal tersebut ditujukan untuk membangun persatuan.
"Sumbangan itu ditujukan untuk membangun kohesi politik, sosial dan agama di negara ini," kata jurubicara militer, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun.
Menanggapi hal tersebut, Hajji U Aye Lwin beranggapan bahwa masih dimungkinkan ada beberapa alasan terkait sumbangan tersebut. Menurut dia, sumbangan yang dilakukan pihak militer itu berupaya mengubah pola pikir dan taktik yang digunakan meskipun hanya sedikit.
“Ini adalah langkah pertama di jalur yang benar. Ini lebih baik daripada tidak ada kunjungan [ke komunitas non-Buddha] sama sekali, dan kami harus menyambutnya dengan optimis, ”kata dia.
Pada Juli lalu, selama pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump, orang Kristen Kachin mengatakan, bahwa tidak ada kebebasan beragama di Myanmar bahkan penindasan dan penyiksaan masih umum terjadi.
Oleh karena itu mereka juga meminta AS untuk mendukung transisi Myanmar kepada sistem demokrasi "asli" dan mendukung federalisme.