Kamis 19 Sep 2019 11:38 WIB

Hatta: Habis El-Hilaal, Terbitlah Kepanduan Muslim

Kisah berdirinya kepanduan Muslim di Sumatra Barat

Kongres pembentukan Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) yang dilaksanakan perkumpulan PMDS pada Juli 1931.
Foto: Kepanduan Muslim
Kongres pembentukan Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) yang dilaksanakan perkumpulan PMDS pada Juli 1931.

Oleh: Fikrul Hanif Sufyan, pemerhati Sejarah Sumatera Barat dan penulis Biografi Chatib Sulaiman

Aksi besar-besaran penangkapan iring-iringan Padvinders se Padang Panjang yang dilakukan veldpolitie, tidak membuat mereka gentar. Mereka pun tidak takut dengan ancaman kurungan badan, dan dikenai tuduhan merusak rust en orde. Mereka segera menghidupkan kembali padvinder pasca perpecahan ditubuh El-Hilaal, dengan sebutan Kepanduan Indonesia Muslim (KIM) pada Juli 1931.

Uniknya KIM, dibandingkan El-Hilaal

Penggunaan kata Indonesia dari rangkaian akronim KIM tentu menarik dicermati. Pengakuan keindonesiaan bisa disebut kali pertama terjadi di Sumatra, ketika kelompok padvinder Islam mau melekatkan kata yang hanya digunakan dua organisasi pergerakan nasional, yakni Perhimpunan Indonesia (PI), dan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Namun, tidak diketahui lebih lanjut dalam Anggaran Dasar KIM menggunakan asas kebangsaan, sebagaimana yang dilakukan oleh PERMI.

Kepanduan milik PMDS, dalam struktur organisasinya disusun sistematis. Struktur tertinggi pengurus dipegang oleh Dewan Kepanduan, yang terdiri dari dua bagian. Pertama Sidang Penasehat yang dijabat oleh Chatib Sulaiman, M. Yunus Kocek, dan Leon Salim. Sidang penasehat terdiri dari mereka yang sudah beranjak dewasa dan terpanggil untuk masuk dalam kancah politik. Sedangkan sidang pimpinan adalah mereka yang diwajibkan melaksanakan secara bersama melalui sistem musyawarah.

Menurut Salim (1987: 10) Dewan Kepanduan harus bermufakat sekurangnya sekali sebulan untuk meyakinkan kader. Sedangkan untuk Padang Panjang dilakukan dua kali sebulan yang dipraktikkan Dewan Pimpinan dan Dewan Pasukan.  Kedua, sidang pimpinan dipegang oleh Muktar Latief (kepanduan putra), Dahniar Zainuddin, Timur Latif, dan Dinar Sulaiman (kepanduan putri).

Khusus untuk di luar Padang Panjang, satuan kepanduan dinamai Dewan Pasukan, sedangkan untuk Cabang diberinama pasukan-pasukan. Sistem yang dirancang oleh Chatib merupakan penerapan dari sistem sosialisme kedalam gerakan kepanduan, yang mengedepankan disiplin yang kuat.

Kemahiran Chatib merancang struktur KIM yang mengikutsertakan perempuan, memang mencengangkan. Apatahlagi, awal abad ke-20 masih didominasi pengaruh adat Minangkabau. Terobosan yang dilakukan Chatib memang tergolong berani, melabrak aturan-aturan dari budaya Minang.

Pada masa pembentukan padvinder, di daerah manapun di Indonesia, belum dicanangkan integrasi kepanduan berdasar gender. “Bayangkan, kalau ditengah-tengah alam Minangkabau yang teguh beradat itu, kini gadis-gadisnya ikut dalam gerakan kepanduan, berbaris di lapangan dan di jalan raya. Limpapeh rumah gadang, penghias rumah adat itu, kini berbaris di jalan raya.”. demikian ungkapan kagum Leon dalam tulisannya.   

Sejak terbentuknya KIM, Chatib tenggelam dalam kesibukannya. Tiap lewat tengah malam, ia menulis materi untuk anggota pandu, menanamkan kesadaran sejarah, membentuk nasionalisme, kedisiplinan, sekaligus mengkader calon anggota di daerah. Ketiadaan materi menjadi pilihan hidup Chatib yang sudah berusia 25 tahun. Baginya, hidup adalah perjuangan untuk memerdekakan bangsa, mencerdaskan anak bangsa, dan mencetak kader yang memegang teguh Islam dan nasionalisme.

KIM menyemai PNI Baru di PMDS

Pasca berdirinya PERMI di Sumatra Thawalib, pemerintah Kolonial Belanda yang cemas melihat pergerakan di Sumatera Barat, berupaya keras menghambat laju kesadaran rakyat terhadap arti sebuah bangsa.

Di PMDS sendiri yang notabenenya steril dari politik, pemuda-pemuda yang tergabung dalam KIM sibuk menghubungi Hatta yang sedang berada di Bukittinggi. Mereka ingin Hatta menyampaikan gagasan Pendidikan Nasional Indonesia, atau dalam lembaran sejarah dikenal dengan PNI-Baru.

Pada 10 November 1932 mereka segera menjemput Hatta untuk bertandang ke PMDS, guna menjelaskan kondisi politik terkini, dan berita seputar PNI Baru. Sehari kemudian, Hatta berpidato di ruangan Perguruan Diniyah Putri, kemudian bermalam di PMDS.

Leon dan Chatib kemudian menyerahkan majalah Obor yang diterbitkan Partai Republik Indonesia (PARI), yang diperoleh dari Kandur Sutan Rajo Basa–seorang pengikut setia Tan Malaka yang dibuang ke Digul tahun 1934. Pagi harinya, Hatta bertolak ke Padang. Setelah mengantar ketua PNI Baru tersebut, pengurus kembali meneruskan tidurnya.

Saat matahari naik sepenggal, pengurus yang lelap tertidur di-kejutkan suara Kraink–kepala polisi Politiek Inlichtingen Dienst (PID) yang memanggil dengan suara keras. PID adalah semacam badan penyelidik yang berasal unsur veldpolitie. Polisi-polisi PID ini merupakan momok bagi dunia pergerakan dan merupakan alat yang ampuh, untuk melumpuhkan vereeniging yang membangkang.

Leon dan Chatib tampak kebingungan mencari majalah Obor yang telah diserahkan ke Hatta, apakah sudah dibawa, atau masih berada di PMDS?. “Sementara itu, gedoran pintu oleh polisi menjadi-jadi. Seperti kucing hendak menerkam tikus, saya cari majalah itu.”. kenang Leon dalam autobiografinya.

Rupanya Hatta meninggalkan di bawah bantalnya. Leon berpikir keras, menyembunyikan majalah itu, sedangkan PID sudah puluhan kali menggedor pintu markas mereka. Di tengah suasana kalut, Leon sudah terbayang Digul yang menanti mereka.

Digul merupakan kamp tahanan politik yang dikenal menyeramkan dan terletak jauh di pedalaman. Banyak di antara tahanan politik menjadi korban keganasan alam, dan penyakit yang ditularkan nyamuk malaria hutan yang mematikan.  Kemudian, mata Leon tertuju pada peti penyimpanan trompet milik KIM. “Saya ambil bambu bumbung. Saya lipat Obor itu dan diletakkan di dasar bumbung.”. terang Leon dalam manuskripnya.

Setelah memastikan aman Leon, Bakhtiar Latif, dan Chatib segera membuka pintu, seolah baru terbangun dari tidur. Pengurus KIM yang lain, seolah tampak masih tidur, dengan jendela rumah yang tertutup rapat. Kepala PID segera masuk ke ruangan rumah, dan memperhatikan keadaan sekitarnya yang masih samar-samar.

"Ada apa? Kenapa di pagi hari sudah jadi tamu kami, Datuk?"

"Ya, membangunkan orang yang tidur!," sahut Kraink

Polisi PID segera menyebar di setiap sudut ruangan. Tanpa bicara, mereka memeriksa setiap benda yang ditemui. Lemari diperiksa, kasur ditelungkupkan, di bawah tempat tidur, rak buku, lemari pakaian, hingga dibawah tikar pun ditelisik. Leon yang mengkhawatirkan majalah Obor diketemukan, kemudian mengungkap, “Makin mendekat ke tempat alat musik, makin mendekat juga bayangan Digul di otakku.”.

Chatib yang mengikuti langkah dari Kraink berupaya mengalihkan perhatiannya. Ia hendak mencegah kepala PID melangkah ke kotak alat musik. “Kalau mau bertemu Hatta, tunggu saja nanti sore beliau ke Bukittinggi.”. ujar Chatib.

Kraink hanya menjawab singkat,”Tidak!”. Ia menginstruksikan anak buahnya mengumpulkan dan membawa buku PMDS, catatan pribadi pengurus KIM, termasuk milik Leon dan Chatib.

 

Mendirikan PNI Baru

Sejak hadirnya Bung Hatta di PMDS, pengurus KIM hampir seluruhnya setuju, melibatkan diri dalam perkumpulan PNI Baru. Beberapa anggota PMDS, memang ada yang keberatan, bila Chatib dan Leon membawa Diniyah dalam gerbong PNI Baru. “Mereka meminta kami memasuki dan memperkuat partai-partai politik yang telah ada, yakni PERMI dan PSII.”. Chatib, Leon, dan pengurus KIM dan PMDS sudah membulatkan tekad, untuk mendirikan PNI Baru.

Chatib sebagai penasehat KIM, sedari awal telah menegaskan ketertarikannya untuk bergabung di PNI Baru. Bacaan-bacaan Chatib sebelum bergelut di panggung politik, telah mengantarkannya dalam wacana besar nasionalisme. Bila ditelisik lebih jauh, ada beberapa faktor yang mendorong Chatib memilih PNI Baru sebagai kendaraan politiknya.

Pertama, PNI jelas menerangkan bahwa mereka menginginkan Indonesia merdeka dengan kekuatan nasionalis. Kedua, Indonesia merdeka dalam bentuk pemerintahan Republik dengan titik tolak demokrasi ekonomi dan politik. Ketiga, bila pimpinannya nanti tertangkap ataupun dihukum buang, vereeniging tidak akan mati. Keempat, perkumpulan akan mempersiapkan sistem kader ataupun kursus politik, termasuk merekrut masyarakat masuk dalam perkumpulan.

Pada Desember 1932 berdirilah PNI Baru Cabang Padang Panjang, Bukittinggi, Maninjau, Pariaman, dan Padang. Masing-masing cabang, diketuai oleh Leon Salim, Rahimi, Darwis Thaib, S. Thaib, dan M. Nur Arif (Salim, 1980: 24).

Sejak cabang berdiri di Padang Panjang, plang nama PMDS diturunkan, berganti dengan PNI Baru. Jadilah, masing-masing sekolah Islam modernis di Padang Panjang di tahun 1930an terlibat dalam politik praktis. Sumatra Thawalib dengan PERMI dan Perguruan Diniyah lewat PNI Baru.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement