Jumat 20 Sep 2019 16:46 WIB

Umat Islam di Rumania Jaga Keharmonisan

Umat Islam di Rumania bebas menjalankan keyakinannya.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Muslim Rumania
Foto: nineoclock.ro
Muslim Rumania

REPUBLIKA.CO.ID,CONSTANTA -- Meskipun ibadah shalat tidak dianjurkan di bawah komunisme, namun Muslim Rumania tidak menghadapi tingkat penindasan yang sama seperti di negara-negara Blok Timur lainnya.

Kepala Mufti sejak 2005 yang telah menjadi warga Rumania, Murat Iusuf, mengatakan mantan presiden Rumania Nicolae Ceausescu memiliki hubungan baik dengan beberapa negara mayoritas Muslim, dari Iran hingga Libanon dan Libya. Menurutnya, mufti menemani sang presiden kala itu ketika ia mengunjungi negara-negara Muslim. Ia mengatakan, siswa dan para pekerja dari beberapa negara sosialis persaudaraan akhirnya pindah ke Rumania. 

Seorang imam di daerah Dobromir dekat perbatasan Bulgaria, Daniyar Cogahmet, mengatakan banyak masjid yang jarang didatangi saat itu di bawah pemerintahan komunis, terutama oleh kaum muda. Kendati begitu, ia mengatakan bahwa umat Muslim bebas untuk mempraktikkan agama mereka. Meskipun, kemiskinan di pedesaan membuat banyak orang meninggalkan desa. Hal itu mempengaruhi warga Rumania dari semua latar belakang.

"Karena bahasa yang umum, orang Turki dan Tatar biasa pergi ke Turki untuk melakukan pekerjaan sampingan," kata Cogahmet, dilansir di Al Jazeera, Kamis (19/9).

Pada 2007, saat Rumania bergabung dengan Uni Eropa, pola migrasi itu telah berubah. Menurut Cogahmet, kini semua orang ingin pergi ke Jerman dan ada banyak orang Turki di sana.

Constantin Voicu menjadi salah satu penduduk Constanta yang merasa bersyukur leluhurnya pindah ke sana. Pria berusia 83 tahun itu memiliki kebun sayur yang berkembang pesat di desa Lespezi di Constanta, yang dikenal dalam bahasa Turki sebagai Tekkekoy.

Voicu sebelumnya adalah petani miskin Kristen dari Transylvania, yang diberi 10 hektar lahan subur setelah adanya aneksasi wilayah tersebut. Aneksasi merupakan upaya untuk memukimkan kembali tanah itu dengan orang-orang Kristen yang setia lantaran ada dendam di masa lalu. 

"Saya bukan sejarawan, hanya orang sederhana yang tahu banyak hal. Tetapi orang-orang tahu dan menyukai tetangga (Muslim) mereka dan mereka tidak percaya semua yang mereka lihat di TV," ujar Voicu. 

Umat Muslim Rumania tampaknya terhindar dari retorika Islamofobia yang terlihat di negara-negara tetangganya pada puncak krisis pengungsi pada 2015 lalu. Di tahun itu memang tidak ada unjuk rasa terhadap para pengungsi dari negara-negara mayoritas Muslim. Akan tetapi, protes meletus atas rencana untuk membangun sebuah masjid besar yang didanai Turki di Bucharest. Rencana pembangunan masjid itu akhirnya ditangguhkan pada 2018. 

"Kehadiran Muslim di Rumania tetap sebuah masalah kecil dalam agenda politik dan publik," demikian simpul penulis dalam Laporan Islamofobia Eropa 2017. 

Seorang ilmuwan politik di Sekolah Nasional Studi Politik dan Administrasi Publik di Bucharest, Cristian Pirvulescu, mengatakan banyak kemarahan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir telah diarahkan pada korupsi daripada para migram miskin atau Muslim. 

Pada 2017, Rumania hampir mendapatkan perdana menteri wanita Muslim pertamanya ketika Partai Sosial Demokrat mencalonkan Sevil Shhaideh, seorang politisi keturunan Tatar yang menjabat sebagai wakil perdana menteri saat itu. Penduduk Muslim dikatakan sejumlah pihak hidup berdampingan secara damai di Rumania. 

Vlad Stoiescu, seorang wartawan di Sa Fie Lumina, sebuah majalah online tentang agama di Rumania, mengungkapkan bahwa wacana anti-Islam tidak begitu berdengung di negara itu. Menurutnya, orang-orang Muslim di Dobruja terintegrasi dengan baik dan orang-orang Rumania terbiasa dengan kehadiran mereka, begitu pula sebaliknya. 

"Anda mungkin menemukan wacana anti-Islam di antara beberapa intelektual nasionalis, tetapi jika snda menghentikan sepuluh orang biasa di jalan di sini, anda tidak akan mendengarnya," ujar Stoiescu.

"Ketika kamu mengunjungi desa-desa itu, lihatlah monumen-monumen untuk penduduk lokal yang dalam Perang Dunia Pertama. Setengah dari nama keluarga mereka adalah Turki. Mereka bertempur dan mati untuk negara ini," tambahnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement