REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta DPR menunda empat rancangan undang-undang (RUU), salah satunya adalah revisi Undang-Undang nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan. Perubahan beleid tersebut rencananya akan mengatur secara rinci mengenai mekanisme cuti oleh narapidana, termasuk di dalamnya peluang napi untuk cuti dan berlibur.
Selain RUU Permasyarakatan, Jokowi juga meminta DPR menunda tiga rancangan UU lain, yakni RUU Pertanahan, RUU Mineral dan Batu Bara (Minerba), dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Presiden menjelaskan, penundaan ini dilakukan agar pemerintah bersama DPR sama-sama mendapat masukan atas substansi yang sesuai dengan keinginan masyarakat.
"Sehingga rancangan UU tersebut saya sampaikan, agar sebaiknya masuk ke nanti, DPR RI berikutnya. Dan jadi yang belum disahkan tinggal satu, yaitu Rancangan UU tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," kata Jokowi, Senin (23/9).
Sebelumnya, Anggota Komisi III DPR RI Muslim Ayub menjelaskan sejumlah hak yang bisa diterima narapidana yang telah memenuhi syarat tertentu sebagaimana yang terdapat dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Undang-undang Permasyarakatan. Ia menuturkan salah satu hak yang diterima narapidana yaitu hak remisi, hak asimilasi hingga mengajukan cuti.
"Itu kan sudah ada, di Pasal 10 sudah jelas bahwa sanya hak-hak warga binaan itu sudah ada, hak remisi, asimilasi, cuti bersyarat, kemudian bisa pulang ke rumah, itu bagian dari itu semua," kata Muslim kepada wartawan, Jumat (20/9).
Bahkan, imbuh Muslim, narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu berhak berpergian dengan tetap didampingi petugas lapas. "Terserah kalau dia mau cuti di situ, mau dalam arti dia ke mall juga bisa. Iya kan? Kan cuti, bisa ngambil cuti, dan didampingi oleh petugas lapas. Apapun yang dia lakukan itu didampingi oleh petugas lapas," ujarnya.
Politikus PAN tersebut mengatakan terkait bagamana mekanisme cuti tersebut nantinya akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP). Menurutnya Undang-undang Permasyarakatan hanya mengatur secara global.
"Kita tidak bisa memastikan. PP-nya ini akan keluar nanti dalam bentuk apa cuti itu, berapa lama, akan diatur nanti. Kita tidak bisa memastikan cuti itu berapa lama, dalam sebulan itu berapa kali dia cuti, satu tahun berapa kali, itu diatur dalam PP," ujarnya.