REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR, Eva Kusuma Sundari, menilai, jika mencermati lima tuntutan dari Aliansi Rakyat Bergerak, mahasiswa sudah menang. Beberapa tuntutan kepada DPR dan Presiden sudah dikabulkan sehingga tak perlu lagi melanjutkan demonstrasi.
"Demo tak perlu lagi dilanjutkan, kecuali memang ingin membuat kegaduhan yang rawan menjadi tunggangan penumpang gelap yang menginginkan destabilisasi," kata Eva di Jakarta, Selasa.
Tuntutan pertama dari Aliansi Rakyat Bergerak, yaitu penundaan pengesahan RKUHP. Hal tersebut, menurut Eva, sudah terlaksana ketika Presiden pada Jumat (20/9), mengumumkan penundaan pengesahan RUU itu.
"Hal ini disambut positif oleh partai-partai koalisi dan bahkan Gerindra juga mendukung. Alasan penundaan adalah merespons permintaan masyarakat luas atas pasal-pasal yang kontroversial," kata anggota Fraksi PDI Perjuangan itu.
Tuntutan kedua tentang perbaikan UU KPK. Menurut Eva, hal ini sudah di luar kontrol DPR dan pemerintah karena sudah disahkan pada 17 September 2019. Satu-satunya peluang adalah bila mahasiswa meminta pembatalan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Permintaan untuk Perppu tidak mungkin dilaksanakan mengingat tidak ada alasan darurat. Jadi, saat ini bola justru di tangan mahasiswa sendiri, bukan DPR dan Presiden," kata Eva.
Ribuan mahasiswa Malang kembali melakukan aksi demonstrasi di halaman gedung DPRD dan Balai Kota Malang, Selasa (24/9).
Tuntutan ketiga, penangkapan terhadap pelaku perusakan alam di beberapa daerah. Menurut Eva, tuntutan ini kurang spesifik. Jika yang dimaksud adalah kebakaran hutan maka saat ini penegakan hukum sedang berjalan. Sudah ratusan pelaku per orangan dan kelompok pembakaran hutan ditangkap bahkan ada yang sudah selesai pemberkasan kasusnya dan puluhan perusahaan dalam dan luar negeri dibekukan izin usahanya.
"Jadi, sebaiknya para mahasiswa mengawasi penegak hukum dalam bekerja, bukan justru demo di DPR maupun di tempat yang tidak terkait," ujar Eva.
Terhadap tuntutan keempat, terkait UU Ketenagakerjaan, Eva menyebut tuntutan ini membingungkan karena saat ini tidak ada pembahasan UU tersebut di DPR. "Tampaknya ada salah paham di kalangan mahasiswa soal isu ketenagakerjaan dan sasaran demo," ujar Eva.
Menurut Eva, tuntutan keempat yang paling masuk akal adalah yang terkait desakan pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kejahatan Seksual). Pembahasan mandek akibat pimpinan panitia kerja dan beberapa parpol tidak mengagendakan pembahasan RUU ini, meski sudah tiga tahun di prolegnas.
Eva menilai, para penolak RUU ini lebih percaya kepada hoaks seperti RUU pro seks bebas, pro LGBT, liberal daripada membela korban kejahatan seksual.
Dalih yang diajukan pimpinan adalah tidak cukup waktu. Sementara Panja RUU Siber yang baru masuk minggu lalu sedang kerja keras membahas DIM-nya pada pekan ini. "Jadi, untuk mendukung pengesahan RUU PKS ini demo mahasiswa seharusnya ditujukan ke MUI, FPI, Alila, beserta ormas Islam lain yang tidak membaca DIM di RUU PKS yang disusun Komnas Perempuan untuk melindungi dan memberikan keadilan kepada perempuan dan anak-anak korban kejahatan seksual," katanya.
Tuntutan kelima, yakni memajukan demokratisasi dan setop menangkap aktivis. Menurut Eva, tuntutan ini kurang jelas objeknya dan seharusnya sasaran juga ke penegak hukum yang bekerja independen dan imparsial.
"Sebaiknya jika meminta perhatian dan pengawasan Komisi III DPR harus membawa data yang spesifik, misalnya kasus apa dan di mana sehingga bisa ditindaklanjuti oleh DPR," kata Eva.
Oleh karena itu, Eva mengimbau kepada para mahasiswa untuk tidak melanjutkan demo, apalagi menduduki gedung MPR.
Ia meminta mahasiswa untuk kembali ke peran sejarah sebagai pembawa perubahan ke arah kemajuan bangsa berbakal daya kritis berbasis data dan fakta serta sikap yang militan membela kebenaran. "Waspadai potensi diperalat untuk tujuan politik mencari kekuasaan secara inkonstitusional," ujar Eva yang juga ketua Kaukus Pancasila itu.