Rabu 25 Sep 2019 10:40 WIB

Al-Washliyah Bersyukur UU Pesantren Telah Disahkan

Ada beberapa catatan al-Washliyah terkait UU Pesantren.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Agung Sasongko
Santri pondok pesantren (Ilustrasi)
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Santri pondok pesantren (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren resmi disahkan menjadi undang-undang (UU) di ruang rapat paripurna DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9). Ketua Umum Pengurus Besar Al-Washliyah, Yusnar Yusuf mengaku bersyukur akan keputusan ini.

"Sudah disetujui, Alhamdulillah. Nanti kita pada Perpres (Peraturan Presiden) saja kita minta dimasukkan, semuanya yang penting lolos dulu," kata Yusnar, Selasa (24/9).

Sebelumnya, RUU Pesantren dinilai Yusnar belum mengakomodasi aspirasi ormas-ormas Islam, dan perkembangan pesantren. Yusnar mengusulkan supaya RUU Pesantren diubah nomenklaturnya, yang dapat memayungi semua jenis pendidikan di luar sistem pendidikan nasional.

"Ormas yang memiliki (lembaga) pendidikan banyak, seperti Al-Washliyah, Muhamadiyah tapi tidak punya pesantren, istilah pesantren itu kan tidak ada. Ini yang menjadi masalah yang harus bisa ditampung oleh UU pesantren," ucapnya.

Kendati demikian, ia secara pribadi tidak menolak hadirnya UU Pesantren ini. Namun ke depan Yusnar menginginkan adanya perbaikan. "Al-Washliyah tidak menolak, saya secara pribadi juga tidak menolak, (tapi) ke depan perlu perbaikan mencantumkan yang bisa memayungi semua pendidkan agama," katanya.

Ia berharap ke depan UU pesantren akan ditindaklanjuti dengan adanya Perpres. Di dalam Perpres tersebut, dapat mengayomi semua pendidikan agama yang ada di Indonesia.

Yusnar mengungkapkan, dengan adanya UU Pesantren maka ini akan lebih baik dari aspek pengalaman. Ia mengatakan, sebelumnya ada istilahnya anak tiri dan anak kandung, dengan adanya UU pendidikan nasional, itu belum memasukkan pesantren.

Di samping itu, Yusnar mengkhawatirkan UU pesantren akan dapat mengurangi kurikulum yang ada di pesantren. Pesantren yang berada dalam pengaturan pemerintah, nantinya dapat diatur dengan sistem pendidikan nasional.

Ia menjelaskan, sebagai contoh dahulu, Ibtidaiyah, Tsanawiyah terdapat pendidikan agama yang banyak. Namun setelah diatur oleh Pemerintah, maka akan ikut serta dengan peraturan dari Pusat. "Saya khawatirnya disitu, dibuat UU maka kurikulum yang ada di pesantren dikurangi," ucapnya.

Di sisi lain, dalam UU pesantren juga disebutkan bahwa definisi pesantren merupakan penyelenggara pendidikan dalam pengajian kitab kuning. Menurut Yusnar, hal tersebut dapat membuat terbelahnya masyarakat.

Ia mengatakan, pesantren disebutkan yang membaca kitab kuning, kalau tidak, maka bukan pesantren, ini akan membuat perpecahan. Untuk itu, ia menyarankan seharusnya kalimat tersebut dapat ditambah, pesantren penyelenggara pendidikan ditambahkan dengan 'diantaranya' kitab kuning. Atau, dalam UU tersebut, pesantren adalah sekolah agama khusus.

Adapun Al-Washliyah memiliki 1.075 sekolah yang tersebar di Indonesia, mulai dari Raudathul Athfal sampai ke Perguruan Tinggi. Jumlah sekolahnya yang terbesar berada di Sumatera Utara dengan sekitar 700 lebih unit, selebihnya terdapat di Aceh, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan lainnya.

Sebelumnya, terdapat Ormas Islam dan pesantren yang mengajukan permohonan penundaan pengesahan RUU Pesantren, diantaranya Persyarikatan Muhammadiyah, Aisyiyah, Al-Wasliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Persatuan Islam (Persis). Kemudian Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Nahdlatul Wathan (NW), Mathla'ul Anwar, Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI), dan Pondok Pesantren Darunnajah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement