REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Ilmu Ekonomi Universitas Padjadjaran Bayu Kharisma menyarankan pemerintah menunda simplifikasi atau pengurangan layer cukai industri hasil tembakau. Apalagi, kebijakan itu juga disertai dengan kenaikan cukai tembakau hingga 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) 35 persen mulai 2020.
Bayu mengungkapkan, rencana kenaikan cukai sudah cukup memberatkan pelaku industri. "Ancaman terhadap petani tembakau dan potensi terjadinya PHK menjadi semakin tinggi. Ditambah pula, jika penggabungan sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek mesin (SKM) diterapkan, maka akan terjadi potensi oligopoli dan juga monopoli," kata Bayu, Jumat (27/9).
Menurut Bayu, apabila penggabungan SPM dan SKM diterapkan, perusahaan-perusahaan kecil dan menengah akan dipaksa untuk menyesuaikan tarif yang lebih tinggi berdasarkan penggabungan batas jumlah produksi kedua kategori tersebut.
"Persaingan tidak sehat lantas terjadi karena tekanan kenaikan cukai yang sangat tinggi. Industri hasil tembakau kecil dan menengah terdampak akan dihantam oleh beban cukai tambahan akibat adanya simplifikasi dan penggabungan," kata Bayu.
Terkait rencana kenaikan tarif cukai, ia menilai hal tersebut berpotensi menimbulkan dampak berganda terhadap kondisi perekonomian. "Bisa menimbulkan pengangguran, inflasi, dan petani tembakau akan kehilangan penghasilannya," ujar Bayu.
Bayu menyampaikan, dampak lanjutan yang dapat timbul adalah meningkatnya peredaran rokok illegal, yang terpusat di daerah-daerah dengan target konsumennya menengah ke bawah.
Berdasarkan laporan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), kata Bayu, meski belum diterapkan, rencana kenaikan cukai telah memberi dampak pada tata niaga bawah. Hal ini berupa tekanan dari para pedagang yang memanfaatkan isu kenaikan tarif cukai menekan harga kepada petani.